Mutiara Salaf

"Wahai manusia Aku hanyalah orang yang mengikuti sunnah dan bukan pembuat bid'ah. Jika Aku berbuat baik maka ikutilah dan jika Aku berbuat buruk maka ingatkanlah" [Abu Bakar Ash-Shidiq]

Blog ini dibuat terutama sebagai catatan/arsip bagi ana sehingga mudah mengakses [karena telah dikategorikan] artikel para ustadz ahlu sunnah yang materinya terpencar-pencar di masing-masing situs yang diasuh langsung oleh mereka. Namun alangkah baiknya jika ana tidak menyimpannya sendiri di dalam hard disk melainkan di sebuah blog yang diharapkan dapat bermanfaat bagi orang lain entah dia itu muslim atau kafir, ahlu sunnah atau ahli bid'ah, orang yang sudah "ngaji" atau yang masih awam.

Minggu, 28 Maret 2010

Jangan ada Dusta di antara Kita

Berbagai dalil dari al Qur’an dan sunnah secara umum menunjukkan bahwa berdusta itu hukumnya haram. Dusta adalah dosa dan ‘aib yang amat buruk. Di samping berbagai dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah umat Islam bersepakat bahwa berdusta itu haram.

Di antara dalil tegas yang menunjukkan haramnya dusta adalah hadits berikut ini.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ ».

Dari Abu Hurairah, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Tanda orang munafik itu ada tiga, dusta dalam perkataan, menyelisihi janji jika membuat janji dan khinat terhadap amanah” (HR Bukhari no 2682 dan Muslim no 220).

Yang dimaksud dengan dusta adalah menyampaikan berita yang tidak sesuai dengan kenyataan secara sengaja.

Berdasarkan definisi tersebut maka fiksi bukanlah dusta karena syarat supaya disebut dusta adanya kenyataan yang diselisihi. Sedangkan dalam fiksi tidak terdapat kenyataan yang diselisihi. Hal ini tentu berlaku selama fiksi tersebut tidak dikesankan sebagai sebuah kenyataan yang benar-benar terjadi.

Demikian pula berita yang keliru tanpa sengaja bukanlah termasuk dusta karena dusta adalah dusta jika dilakukan dengan sengaja.

Akan tetapi tidak semua dusta itu terlarang. Ada beberapa dusta yang diizinkan oleh syariat. Di antaranya adalah:

عن حُمَيْد بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّ أُمَّهُ أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتَ عُقْبَةَ بْنِ أَبِى مُعَيْطٍ وَكَانَتْ مِنَ الْمُهَاجِرَاتِ الأُوَلِ اللاَّتِى بَايَعْنَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَخْبَرَتْهُ أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُوَ يَقُولُ « لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِى يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ وَيَقُولُ خَيْرًا وَيَنْمِى خَيْرًا ». قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَلَمْ أَسْمَعْ يُرَخَّصُ فِى شَىْءٍ مِمَّا يَقُولُ النَّاسُ كَذِبٌ إِلاَّ فِى ثَلاَثٍ الْحَرْبُ وَالإِصْلاَحُ بَيْنَ النَّاسِ وَحَدِيثُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ وَحَدِيثُ الْمَرْأَةِ زَوْجَهَا.

Dari Humaid bin ‘Abdurrahman bin Auf, sesungguhnya ibunya yang bernama Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin Abi Mu’aid, Ummu KUtsum ini adalah salah seorang wanita yang pertama kali berhijrah dan berbai’at kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bercerita bahwa dia mendengar Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Bukanlah termasuk pendusta orang yang mendamaikan orang yang berselisih dengan bertutur kata yang baik dan menanamkan kebaikan di antara orang yang berselisih”.

Ibnu Syihab az Zuhri, seorang tabi’in, berkata, “Aku belum pernah mendengar adanya dusta yang diperbolehkan kecuali dalam tiga hal yaitu ketika perang, untuk mendamaikan orang yang berselisih dan ucapan suami untuk menyenangkan istrinya atau sebaliknya.” (HR Muslim no 6799).

Hadits ini secara gamblang menunjukkan adanya beberapa jenis dusta yang diperbolehkan karena pertimbangan tertentu. Para ulama telah membuat kaedah tentang dusta yang diperbolehkan. Kaedah yang paling bagus adalah perkataan Abu Hamid Al Ghazali.

Beliau berkata, “Perkataan adalah sarana untuk menyampaikan suatu maksud. Setiap maksud yang bisa disampaikan dengan kalimat dusta ataupun kalimat yang jujur maka berdusta dalam hal ini hukumnya adalah haram karena tidak ada kebutuhan yang mendorong untuk berdusta. Jika maksud yang hendak disampaikan hanya bisa terwujud dengan dusta dan tidak bisa terwujud jika berkata apa adanya maka berdusta dalam kondisi ini diperbolehkan selama maksud yang dituju adalah perkara mubah. Bahkan dusta bisa menjadi sebuah kewajiban jika maksud yang dituju adalah perkara yang wajib”.

Seorang muslim yang bersembunyi dari kejaran penjahat, kemudian penjahat itu bertanya kepada kita tentang di manakah keberadaan orang tersebut maka berdusta dalam kondisi semisal ini hukumnya adalah wajib demi menyelamatkannya.

Demikian pula jika kita mendapatkan titipan barang dari seseorang lalu ada seorang penjahat yang menanyakan keberadaan barang tersebut dengan tujuan untuk merampasnya maka berdusta dalam kondisi seperti ini hukumnya wajib demi menyelamatkan barang tersebut.

Andai kita diminta untuk bersumpah dalam kasus-kasus semisal di atas maka hendaknya kita menggunakan tauriyah dalam sumpah.

Ini semua dilakukan jika memang suatu tujuan tidaklah mungkin dicapai kecuali dengan berdusta. Upaya hati-hati dalam hal ini adalah menggunakan tauriyah.

Tauriyah adalah memilih kata-kata tertentu dengan maksud yang benar dan kata-kata tersebut bukanlah kebohongan jika ditinjau dari niat pembicara. Walau secara eksplisit kata-kata tadi dinilai sebagai sebuah kebohongan.

Dalam kondisi seperti di atas jika kita tidak menggunakan tauriyah namun memilih untuk berbohong maka perbuatan seperti itu tidaklah diharamkan.

Andai kita berdusta dengan tujuan yang benar, baik itu merupakan tujuan pribadi maupun untuk kepentingan orang lain maka kedustaan dalam keadaan semacam ini dibolehkan. Misal ada seorang penjahat yang menarik baju kita lalu menanyakan harta kita untuk dirampas maka seharusnya kita tidak menuruti keinginan penjahat tersebut. Contoh lain adalah andai kita ditanya tentang rahasia orang lain maka seharusnya kita tidak memberitahukannya.

Kita seharusnya menimbang antara ekses negative akibat berdusta dengan sesuatu yang mungkin timbul jika kita berkata jujur. Seandainya dampak positif yang ditimbulkan dengan berkata jujur maka dalam kondisi seperti ini berdusta tidak diperbolehkan. Jika kasusnya sebaliknya atau kita ragu dengan dampak positif perkataan dusta maka berdusta hukumnya haram.

Diriwayatkan dari Umar bin Khatab bahwa beliau berkata, “Sesungguhnya kata-kata kiasan bisa digunakan orang untuk menggantikan kata-kata dusta”.

Jika ada orang yang bertamu ke rumah Hammad sedangkan beliau tidak berkenan untuk mempersilahkannya masuk maka beliau gigit jarinya dengan gigi geraham kemudian berkata, “Aduh gigiku, gigiku”.

Imam Ahmad ketika ditanya tentang Maruzi padahal Maruzi tengah berada di dalam rumah bersama Imam Ahmad sedangkan Maruzi sendiri enggan untuk menemui orang tersebut maka Imam Ahmad meletakkan salah satu jari tangannya di telapak tangan lalu mengatakan, “Maruzi tidak berada di sini. Untuk apa dia berada di sini?”.

Ketika Rasulullah tengah berjalan bersama para shahabat, tiba-tiba mereka bertemu dengan pasukan kaum musyrikin. Mereka bertanya, ‘Dari manakah kalian?”. Nabi menjawab, “Kami dari ma-in” (ma-in bisa berarti nama kampung dan bisa berarti air). Orang-orang musyrik saling memandang lalu mengatakan, “Kampung-kampung di Yaman itu sangat banyak. Memang salah satu mereka berasal dari satu perkampungan di Yaman”. Orang-orang musyrik tersebut akhirnya berlalu.

Padahal yang Nabi maksudkan adalah ‘air’ sebagaimana dalam firman Allah di surat Ath Thariq ayat ke-6.

خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ

“Manusia itu diciptakan dari air yang dipancarkan”.


http://ustadzaris.com/jangan-ada-dusta-di-antara-kita

Hukum Memejamkan Mata Ketika Shalat

Pertanyaan: Berdoa atau berdzikir dengan keadaan mata terpejam memang terasa lebih khusyuk. Dan saya sering melakukannya. Namun akhir-akhir ini ada perasaan khawaatir, jangan-jangan hal itu tidak sesuai deengan ajaran Nabi. Mohon penjelasan.

Jika ada orang yang bertanya, “Seandainya ada seorang yang memejamkan kedua matanya sehingga tidak memandang apa-apa, apakah hal ini diperbolehkan ataukah tidak, maka jawabannya pendapat yang benar, hal tersebut dimakruhkan karena tindakan tersebut menyerupai tindakan majusi pada saat memuja api. Di mana mereka pada saat itu memejamkan mata-mata mereka. Bahkan ada yang mengatakan bahwa hal tersebut juga merupakan perbuatan orang-orang Yahudi sedangkan menyerupai orang-orang non Islam, minimal hukumnya adalah haram, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Jika demikian memejamkan mata pada saat sholat minimal hukumnya adalah makruh. Kecuali jika ada penyebab untuk melakukannya. Misalnya di sekeliling orang yang sholat tersebut, terdapat sesuatu yang mengganggu konsentrasinya seandainya dia membuka kedua matanya. Nah! Pada saat inilah hendaknya mata dipejamkan dalam rangka menghindari hal yang tidak diinginkan tersebut. Andai ada orang yang bertanya, ‘Jika aku memejamkan mataku, maka aku merasa lebih khusyu’ daripada aku tidak memejamkan mataku’ lalu apakah aku diperbolehkan memejamkan mata karena alasan demikian. Jawabannya adalah tetap tidak boleh. Karena kekhusyukan yang didapatkan melakukan perbuatan yang hukumnya makruh itu berasal dari syetan. Kekhusyukan seperti itu tak ubahnya sebagaimana kekhusyukan orang-orang sufi. Ketika melafadzkan dzikir-dzikir bid’ah, syetan terkadang menjauh dari hati kita sehingga tidak menimbulkan was-was ketika kita memejamkan mata dengan maksud untuk menjerumuskan kita dalam hal yang hukumnya makruh. Hendaknya mata tetap kita buka hendaknya kita berusaha untuk khusyuk ketika melaksanakan shalat. Sedangkan memejamkan mata tanpa sebab agar mendapatkan kekhusyukan sekali lagi ini berasal dari syetan. (Lihat Shifat as-Sholah karya Ibn Utsaimin hal 53 cetakan Darul Kutub al-Ilmiah).

http://ustadzaris.com/hukum-memejamkan-mata-ketika-shalat#s-comments

MENOLAK DOA IBU

Assalam’muallaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ustadz, saya wanita 33 tahun, punya 3 orang anak (dari mantan suami kedua), yang selalu memahami kondisi hati mamanya. Saat ini saya menikah, merupakan pernikahan ke 3 bagi saya dan kedua bagi suami ( 3 anak dari suami).

Ustadz…. Pernikahan kami tidak di restui oleh orang tua saya, bahkan saat ini saya dan anak-anak sudah di buang dari keluarga besar. Kedua orang tua saya memberikan syarat agar saya bercerai dari suami jika masih ingin diakui sebagai anak. Subhanallah….. sungguh tidak dapat saya terima syarat tersebut.

Niat saya menikah lagi ketika itu agar dapat membentuk keluarga yang sakinah,warahmah dan mawaddah. Terlepas dari kesalahan & dosa kami di masa lalu, niat mempertahankan dan menjalankan pernikahan ini begitu kuat dan saya terus belajar agar menjadi umat–Nya yang dicintai & selalu bertaubat, menjadi istri & mama yang pantas bagi keluarga kecil kami.

Selain telah mengenakan jilbab, saya berusaha menjalankan ibadah wajib dan sunnah lebih baik, juga di tambah dengan berdzikir memohon ampunan, petunjuk, dan perlindungan dari-Nya. Sangat sering bibir ini berdoa dan air mata ini mengalir memohon Ridha Allah l agar pintu hati kedua orang tua saya terbuka dan dapat menerima kami. Dan tak henti saya memohon agar kami di berikan ketenangan, kekuatan, dan kesabaran dalam menghadapi kehidupan ini (amin) ( yang kadang ada saja pertengkaran suami istri yang tak dapat saya hindari, Nauzubillah…) mengingat suami sangat sensitif dan temperamental. Subhanallah….. Saya selalu berusaha bersabar dan memohon di berikan kekuatan ketika keluar kata-kata yang sering menyakitkan hati saya dari mulut suami.

Apakah ini karena orang tua tidak ridha? Ibu saya terus berdoa dan berharap agar rumah tangga saya hancur. Padahal Ibu saya adalah orang yang sangat baik ibadah dan amalnya. Apakah saya anak yang durhaka? Bagaimana dengan doa Ibu saya tadi? Dan bagaimana menyikapi suami yang kadang tak dapat saya kendalikan emosi dan amarahnya ? Suami sangat bertanggung jawab dalam menafkahi keluarga dan alhamdullillah hubungan saya dengan mertua baik. Mohon saran dan doanya ustadz. “syukran” ( Hamba Allah – Kota BM )

Jawaban:


Waalikumsalam warahmatullah wabarokatuh.


Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah, Rabb alam semesta. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang senantiasa setia mengikuti ajarannya yang lurus hingga hari kiamat. Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Saudariku yang dirahmati Allah, Islam adalah agama yang sempurna dan pembawa rahmat bagi alam semesta. Islam juga merupakan satu-satunya agama yang memberikan solusi tepat untuk menggapai kehidupan rumah tangga yang bahagia (sakinah, mawaddah, dan rahmah).

Saudariku, problema yang sedang anda alami itu hanyalah sebagian dari sekian banyak ujian yang Allah berikan kepada para hamba-Nya, maka sebagai seorang muslim, kita harus bersikap sabar dalam menghadapi ujian apapun agar kita sukses dengan meraih pahala yang besar dan keridhoan dari Allah. Apalagi niat dari awal anda untuk menikah sungguh mulia, yaitu agar dapat membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah dan terbebas dari segala dosa yang telah diperbuat di masa lalu.

Ketahuilah bahwa Allah Ta’ala berfirman: “Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan saja jika ia telah mengatakan: Kami telah beriman, sedang mereka tidak diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka sehingga terbukti bagi Allah orang-orang yang sungguh-sungguh dalam imannya dan terbukti juga orang-orang yang berdusta.” [QS. Al-Ankabut: 2-3]

Saudariku, bertakwalah kepada Allah dan istiqomahlah dalam berdoa kepada-Nya agar Dia membukakan pintu hati kedua orang tuamu supaya mau merestui pernikahanmu dan menyambung kembali hubungan silaturahim denganmu yang telah terputus. Semoga dengan demikian Allah merubah keadaan keluargamu menjadi lebih baik. Berdasarkan janji Allah di dalam Al-Quran Al-Karim: “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya”. [QS. Ath-Thalaq: 2] dan firman-Nya pula: “Barangsiapa bertakwa kepada Alla niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.” [QS. Ath-Thalaq: 4].

Kami juga ingin menanyakan kepada anda, dengan sebab apakah kedua orang tuamu tidak merestui pernikahanmu dan bahkan tidak menganggapmu dan anak-anakmu sebagai anggota keluarganya? Apakah alasannya dibenarkan syariat atau sebaliknya (tidak syar’i). kalau alasannya memang syar’i maka hendaklah kamu berdua segera bertaubat kepada Allah dan berusaha memperbaiki kesalahan-kesalahanmu agar hati kedua orang tuamu terbuka dan mau merestui pernikahanmu. Akan tetapi jika alasan kedua orang tuamu membuangmu dan anak-anakmu dari anggota keluarga besarnya itu tidak syar’i, maka kami nasehatkan kepada mereka agar bertaubat kepada Allah atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya kepada anak kandungnya sendiri seperti tidak merestui pernikahannya, membuangnya dari anggota keluarganya, menyuruhnya bercerai dari suaminya dan bahkan mendoakan kehancuran bagi rumah tangga anaknya. Ketahuilah –wahai orang tua- akan bahaya dari memutus tali silaturahim apalagi dengan anak kandungmu sendiri. Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ

“Tidak akan masuk surga orang yang mmemutuskan (silaturahim).” [HR. Al-Bukhari 10/347 dan Muslim no. 2556 dari Jubair bin Muth’im radhiyallahu anhu]

Dan sabdanya pula: “Tidak ada dosa yang pantas untuk disegerakan hukumannya oleh Allah bagi pelakunya di dunia bersamaan dengan (hukuman) yang disimpan untuknya di akhirat, daripada kezaliman dan pemutusan silaturahim.” [HR. Ahmad, 5/36, Abu Dawud no. 4901, At-Tirmidzi no.1513, dan beliau mengatakan hadits ini shahih, Ibnu Majah no. 4211]

Dan Rasulullah juga melarang mendoakan keburukan bagi anak karena ditakutkan doa tersebut bertepatan dengan waktu dikabulkannya doa, sehingga doa tersebut dikabulkan Allah, dan akhirnya orang tua menyesali akibat perbuatannya sendiri. Sebagaimana hadits shahih yang panjang dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma: Sesungguhnya seseorang berkata kepada untanya: “Hai (unta)! Semoga Allah melaknatmu. “Lalu Rasulullah berkata, “Siapa yang melaknat untanya?” Dia berkata, “Aku wahai Rasulullah.” Rasulullah berkata, “Turunlah dari unta tersebut, janganlah engkau menyertakan kami dengan sesuatu yang terlaknat, janganlah kalian mendoakan keburukan untuk diri kalian sendiri, janganlah kalian mendoakan keburukan untuk anak-anak kalian, dan janganlah kalian mendoakan keburukan untuk harta kalian. Jangan sampai kalian berdoa, bertepatan dengan saat dimana permohonan kepada Allah dikabulkan, sehingga permohonan kalian pun dikabulkan”. [HR. Muslim no. 3009]

Adapun orang tuamu mensyaratkan agar kamu bercerai dari suamimu maka janganlah anda menuruti perintahnya karena syarat ini tidak dibenarkan oleh syariat, apalagi suamimu seorang muslim yang bertanggung jawab. Dan sikap ini (tidak memenuhi permintaan orang tua) pun tidak menjadikanmu sebagai anak yang durhaka, karena taat pada orang tua meskipun hukumnya fardhu ain bagi setiap anak tetapi sebatas dalam hal yang ma’ruf saja, berdasarkan sabda Rasulullah:

لاَ طَاعَةَ فِى مَعْصِيَةِ اللَّهِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِى الْمَعْرُوفِ

“Tiada ketaatan (kepada siapapun) dalam kemaksiatan kepada Allah sang Pencipta. Sesungguhnya (wajibnya) taat itu hanya dalam kebaikan.” [HR.Bukhari no.7252 dan Muslim no.4871].

Kemudian, kami ingin menanyakan pula kepada anda, gerangan apakah yang membuat suamimu cepat marah? Apakah karena anda tidak menunaikan hak-haknya atau memang karakter suamimu selalu marah dengan atau tanpa sebab. Jika memang sebabnya yang pertama, maka hendaknya anda memperbaiki kekuranganmu dengan menunaikan hak-haknya dan selalu mentaatinya dalam kebaikan. Tetapi jika sebabnya yang kedua, maka kami nasehatkan kepada suami anda agar berusaha semaksimal mungkin menahan amarah, mengetahui keutamaan orang yang sabar dan tahan emosi, dan mengetahui bahaya yang ditimbulkan akibat sering marah. Apalagi jika marahnya tanpa sebab. Maka ini merupakan marah yang dibenci Allah karena ia datangnya dari setan sebagaimana dikabarkan Nabi shallallahu alihi wasallam.

Kami nasehatkan pula kepada suamimu dengan sabda Nabi shallallahu alihi wasallam: “Berwasiatlah kalian yang baik kepada kaum wanita, karena mereka tercipta dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas, maka kalau engkau meluruskannya berarti engkau mematahkannya, namun jika engkau membiarkannya maka dia akan selamanya bengkok, oleh karena itu berwasiatlah yang baik kepada wanita.” [HR. Bukhori 5168, Muslim : 1468 dari jalan Abu Hurairah radhiyallah ‘anhu].

Demikian yang dapat kami sampaikan. Semoga bias menyelesaikan berbagai problem rumah tanggamu dan menggapai kehidupan yang bahagia sebagaimana diidamkan oleh setiap pasangan suami istri, amiin.

(Telah dimuat di dalam Majalah Nikah Sakinah Volume 8 No.11 tanggal 15 Februari – 15 Maret 2010)


http://abufawaz.wordpress.com/2010/03/14/menolak-doa-ibu/#more-530

SYARAT-SYARAT DITERIMANYA AMAL IBADAH

Peribadatan seorang hamba yang muslim akan diterima dan diberi pahala oleh Allah I apabila telah memenuhi dua syarat utama berikut ini, yaitu :

1. IKHLAS ( اَلإِخْلاَصُ )

Ikhlas merupakan salah satu makna dari syahadat ( أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ) ‘bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah I’ yaitu agar menjadikan ibadah itu murni hanya ditujukan kepada Allah semata. Allah berfirman :

وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”. [QS. Al Bayyinah : 5]

فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ

“Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan (mu) untuk-Nya.” [QS. Az Zumar : 2]

Kemudian Rasulullah r bersabda :

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ

“Sesungguhnya Allah I tidak menerima suatu amal perbuatan kecuali yang murni dan hanya mengharap ridho Allah”. [HR. Abu Dawud dan Nasa’i]

Lawan daripada ikhlas adalah syirik (menjadikan bagi Allah tandingan/sekutu di dalam beribadah, atau beribadah kepada Allah tetapi juga kepada selain-Nya). Contohnya : riya’ (memperlihatkan amalan pada orang lain), sum’ah (memperdengarkan suatu amalan pada orang lain), ataupun ujub (berbangga diri dengan amalannya). Kesemuanya itu adalah syirik yang harus dijauhi oleh seorang hamba agar ibadahnya itu diterima oleh Allah Ta’ala . Sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam :

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الرِّيَاءُ

“Sesungguhnya sesuatu yang paling aku takutkan terjadi pada kalian adalah syrik kecil”, para sahabat bertanya : “Wahai Rasulullah, apa itu syirik kecil ? Rasulullah menjawab : “Riya’”. [HR. Ahmad]

Kemudian firman Allah Ta’ala tentang larangan syirik ialah,

فَلاَ تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kalian mengetahui”. [QS. Al-Baqoroh :22]

Orang yang rajin beribadah kepada Allah I namun dalam waktu yang bersamaan ia belum bertaubat dari perbuatan syirik dengan berbagai bentuknya, maka semua amal ibadah yang telah dikerjakannya menjadi terhapus dan ia menjadi orang yang merugi di akhirat kelak, sebagaimana firman Allah I:

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”. [QS. Al-An’aam: 88]

“Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang merugi”. [QS. Az-Zumar: 65]


2. AL-ITTIBA’ ( اَلْاِتِّبَاعُ )

Al-Ittiba’ (Mengikuti Tuntunan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam) merupakan salah satu dari makna syahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah (أَنَّمُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ), yaitu agar di dalam beribadah harus sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam . Setiap ibadah yang diadakan secara baru yang tidak pernah diajarkan atau dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam maka ibadah itu tertolak, walaupun pelakunya tadi seorang muslim yang mukhlis (niatnya ikhlas karena Allah dalam beribadah). Karena sesungguhnya Allah Ta’ala telah memerintahkan kepada kita semua untuk senantiasa mengikuti tuntunan Nabi Muhammad r dalam segala hal, dengan firman-Nya :

وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.[QS. Al Hasyr : 7]

Dan Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”. [QS. Al-Ahzaab: 21]

Dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga telah memperingatkan agar meninggalkan segala perkara ibadah yang tidak ada contoh atau tuntunannya dari beliau, sebagaimana sabda beliau shallallahu alaihi wasallam:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada urusannya dari kami maka amal itu tertolak”. [HR. Muslim]

Itulah tadi dua syarat yang menjadikan ibadah seseorang diterima dan diberi pahala oleh Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya :

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya”. [QS. Al Kahfi : 110]

Berkata Ibnu Katsir di dalam menafsirkan ayat ini : “Inilah 2 landasan amal yang diterima (dan diberi pahala oleh Allah), yaitu harus ikhlas karena Allah dan benar / sesuai dengan syari’at Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ”


Jadi kedua syarat ini haruslah ada pada setiap amal ibadah yang kita kerjakan dan tidak boleh terpisahkan antara yang satu dan yang lainnya. Mengenai hal ini berkata Al Fudhoil bin ‘Iyadh :

“Sesungguhnya andaikata suatu amalan itu dilakukan dengan ikhlas namun tidak benar (tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam), maka amalan itu tidak diterima. Dan andaikata amalan itu dilakukan dengan benar (sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu alaihi wasallam) tapi tidak ikhlas, juga tidak diterima, hingga ia melakukannya dengan ikhlas dan benar. Ikhlas semata karena Allah Ta’ala, dan benar apabila sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu alaihi wasallam”.

Maka barang siapa mengerjakan suatu amal dengan didasari ikhlas karena Allah Ta’ala semata dan cocok dengan tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam niscaya amal itu akan diterima dan diberi pahala oleh Allah. Akan tetapi kalau hilang salah satu dari dua syarat tersebut, maka amal ibadah itu akan tertolak dan tidak diterima oleh Allah I. Hal inilah yang sering luput dari perhatian orang banyak karena hanya memperhatikan satu sisi saja dan tidak memperdulikan yang lainnya. Oleh karena itu sering kita dengar mereka mengucapkan : “yang penting niatnya, kalau niatnya baik maka amalnya akan baik”.

Perlu diketahui bahwa sikap ittiba’ (berupaya mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam) tidak akan tercapai / terwujud kecuali apabila amal ibadah yang dikerjakan sesuai dengan syari’at dalam 6 (enam) perkara, yaitu :

1. SEBAB ( اَلسَّبَبُ )

Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak di syari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tertolak. Contohnya: ada orang melakukan sholat Tahajjud khusus pada malam 27 Rajab dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Isro Mi’rajnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Sholat Tahajjud adalah ibadah yang dianjurkan, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut yang tidak ada syari’atnya, maka ia menjadi bid’ah.

2. JENIS ( اَلْجِنْسُ )

Ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Contohnya: bila seseorang menyembelih kuda atau ayam pada hari Iedul Adha untuk korban, maka hal ini tidak sah karena jenis yang boleh dijadikan untuk korban adalah unta, sapi dan kambing.

3. BILANGAN ( اَلْعَدَدُ )

Kalau ada orang yang menambahkan rokaat sholat yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka sholatnya itu adalah bid’ah dan tidak diterima oleh Allah Ta’ala . Jadi apabila ada orang yang sholat Dhuhur 5 rokaat atau sholat Shubuh 3 rokaat dengan sengaja maka sholatnya tidak diterima oleh Allah Ta’ala karena tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

4. TATA CARA ( اَلْكَيْفِيَّةُ )

Seandainya ada orang berwudhu dengan membasuh kaki terlebih dulu baru kemudian muka, maka wudhunya tidak sah karena tidak sesuai dengan tata cara yang telah disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya di dalam Al-Qur’an Al-Karim dan Al-Hadits Asy-Syarif.

5. WAKTU ( اَلزَّمَانُ )

Apabila ada orang yang menyembelih korban sebelum sholat hari raya Idul Adha atau mengeluarkan zakat Fitri sesudah sholat hari raya Idul Fitri, atau melaksanakan shalat fardhu sebelum masuk atau sesudah keluar waktunya, maka penyembelihan hewan korban dan zakat Fitrinya serta shalatnya tidak sah karena tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh syari’at Islam, yaitu menyembelih hewan korban dimulai sesudah shalat hari raya Idul Adha hingga sebelum matahari terbenam pada tanggal 13 Dzul Hijjah (hari Tasyriq ketiga), dan mengeluarkan zakat Fitri sebelum dilaksanakannya sholat Idul Fitri.

6. TEMPAT ( اَلْمَكَانُ )

Apabila ada orang yang menunaikan ibadah haji di tempat selain Baitulah Masjidil Haram di Mekah, atau melakukan i’tikaf di tempat selain masjid (seperti di pekuburan, gua, dll), maka tidak sah haji dan i’tikafnya. Sebab tempat untuk melaksanakan ibadah haji adalah di Masjidil Haram saja, dan ibadah i’tikaf tempatnya hanya di dalam masjid.

Sehingga dengan memperhatikan enam perkara tersebut, maka kita dapat mencocokkan / mengoreksi apakah amal ibadah yang kita lakukan sudah sesuai dengan syariat Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wasallam atau tidak?.

Demikian pembahasan singkat tentang syarat-syarat utama diterimanya amal ibadah. Semoga bermanfaat bagi kita semua di dunia dan akhirat. Amiin…


http://abufawaz.wordpress.com/2008/12/20/syarat-syarat-diterimanya-amal-ibadah/