Mutiara Salaf

"Wahai manusia Aku hanyalah orang yang mengikuti sunnah dan bukan pembuat bid'ah. Jika Aku berbuat baik maka ikutilah dan jika Aku berbuat buruk maka ingatkanlah" [Abu Bakar Ash-Shidiq]

Blog ini dibuat terutama sebagai catatan/arsip bagi ana sehingga mudah mengakses [karena telah dikategorikan] artikel para ustadz ahlu sunnah yang materinya terpencar-pencar di masing-masing situs yang diasuh langsung oleh mereka. Namun alangkah baiknya jika ana tidak menyimpannya sendiri di dalam hard disk melainkan di sebuah blog yang diharapkan dapat bermanfaat bagi orang lain entah dia itu muslim atau kafir, ahlu sunnah atau ahli bid'ah, orang yang sudah "ngaji" atau yang masih awam.

Sabtu, 08 Mei 2010

Permintaan Maaf

Ana secara resmi menutup blog ini sampai waktu yang tidak terbatas, yang ana maksud dengan menutup adalah tidak memposting lagi artikel-artikel baru tapi para pembaca masih bisa melihat dan membaca artikel2 yang ada di blog ini sebab ana ada kesibukan mengelola dua blog islami yang lain. Harap maklum. Terima kasih atas kunjungannya selama ini....

Jumat, 07 Mei 2010

Apakah harus mandi apabila keluar air maniy, tetapi tidak merasa mimpi dan tidak merasakan ‘kenikmatan’ ?

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,..

Barokallahu fiik,..

1. Lamun kaluar air maniy, tetapi ybs tidak merasa mimpi dan tidak merasakan ‘kenikmatan’, apakah harus mandi ?
2. Khutbah Ied kalau dilakukan di masjid (ada alasan syar’i, spt hujan dsb) apakah khutbahnya sekali atau dua kali ? bagaimana dengan yang dilaksanakan di Haromain ?

sakitu heula, omat kudu dijawab segera, syukron

Ridjal

Waálaikum salam wa rahmatullahi wabarakatuh,

Wa fiik barokallah
Jawaban Pertanyaan Pertama :
Syekh Sholih Al Fauzan di dalam kitab Al Mulakhkhosh Al Fiqhiyyah juz 1 halaman 47, ketika menerangkan tentang hal-hal yang menyebabkan mandi mengatakan sbb :
Penyebab yang pertama adalah keluarnya many dari tempat keluarnya baik laki-laki atau wanita, baik keluar dalam keadaan bangun atau dalam keadaan tidur. Kalau keluarnya many dalam keadaan bangun maka disyaratkan adanya rasa nikmat ketika keluarnya, kalau keluar tanpa kenikmatan maka tidak wajib mandi, seperti orang yang keluar many karena sakit atau keluar tanpa bisa ditahan. Kalau keluarnya dalam keadaan tidur maka inilah yang disebut dengan Ihtilám (mimpi basah), maka wajib mandi secara mutlak karena diluar kesadarannya, sehingga terkadang dia tidak merasakan kenikmatan.

Maka orang yang tidur apabila dia bangun dan mendapati bekas many pada celananya wajiblah mandi. Dan bila dia bermimpi, tetapi tidak keluar many dan tidak ada bekas many maka tidak wajib mandi.
Demikian penjelasan Syekh Sholeh Fauzan.

Jawaban Pertanyaan Kedua :

Syekh Sholih Fauzan ketika menerangkan khutbah ied menerangkan :

Maka setelah imam salam dari shalatnya dia berkhutbah 2 kali dan duduk di antara dua khutbah tersebut, berdasarkan riwayat dari Ubaidillah Bin Ubaidillah Bin Utbah, dia berkata : “Sunnah bagi imam khutbah dalam
shlat ied 2 kali dan dipisah kan antara keduanya dengan duduk.”
Riwayat Syafi’i. Di dalam hadis riwayat Ibnu majah dari Jabir dikatakan : “Beliau khutbah dengan berdiri lalu duduk kemudian berdiri lagi.” Di dalam kitab sahih dan yang lainnya dikatakan :” Beliau memulai dengan shalat, kemudian berdiri sambil bersandar ke Bilal, lalu beliau menyuruh agar bertaqwa kepada Allah dan mendorong untuk mentaati-Nya……” Dalam riwayat Muslim :” ….Kemudian beliau selesai lalu berdiri dan menghadap kepada manusia sedangkan manusia tetap duduk di shaf mereka. (Al Mulakhkhosh al Fiqhiyyah juz 1 halaman 189-190).

Syekh Abdullah Bin Muhammad Bin Ahmad At Thoyyar dalam kitab Ash Shalah halaman 339 menerangkan : Setelah imam salam dari shalat dia berkhutbah 2 kali dengan menghadapkan wajahnya kepada hadirin sedangkan mereka dalam posisi duduk di tempat mereka. Dia harus membuka khutbahnya dengan hamdalah, dan berkhutbah sambil berdiri dan duduk ringan antara dua khutbah…..

Menghadiri dua khutbah ini tidaklah wajib bagi hadirin, siapa yang mau boleh menghadirinya dan ini lebih utama, dan siapa yang mau pulang silakan pulang. Inilah yang menjadi alasan kenapa di Mesjidil haram khutbahnya dua kali. Wallahu A’lam.
Coba antum konfirmasikan hal ini kepada ustadz Yazid atau ustadz Hakim.

YANG TADI ADALAH ALASAN YANG DIPEGANG OLEH ORANG YANG
BERPENDAPAT KHUTBAH DUA KALI DALAM SHALAT IED :

Adapun orang yang berpandapat bahwa khutbah shalat ied hanya sekali adalah : Tidak ada yang shahih dalam sunnah bahwa khutbah Ied dilakukan dua kali dengan dipisah antara keduanya dengan duduk.

Riwayat yang ada tentang hal ini lemah sekali. Al-Bazzar meriwayatkan dalam “Musnad”nya (no.53-Musnad Sa’ad) dari gurunya Abdullah bin Syabib dengan sanadnya dari Sa’ad Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah dengan dua khutbah dan beliau memisahkan di antara keduanya dengan duduk.

Bukhari berkata tentang Abdullah bin Syabib : “Haditsnya mungkar” Maka khutbah Id itu tetap satu kali seperti asalnya. Lihat ahkamul idain, Syekh Ali Hasan Al Atsry.

Syekh Al Utsaimin pernah ditanya : Apakah dalam shalat Id itu hanya satu khutbah atau dua khutbah? Berikanlah jawapannya, terima kasih! Jawapan: Yang sunnah, pada shalat itu hanya satu khutbah. Jika hendak memakai dua khutbah, maka tiada berdosa, hal itu didasarkan pada hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi pada kutbah tersebut tidak boleh diremehkan masalah nasihat kepada para wanita mengenai hal-hal yang berkenaan dengan wanita, sebagaimana yang telah dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika khatib menggunakan alat pengeras suara, yang kaum wanita dapat mendengarnya, maka hendaklah pada akhir khutbahnya dia memberikan nasihat khususnya bagi kaum wanita. Jika tidak menggunakan alat pengeras suara dan kaum wanita (yang berada dibarisan belakang) tidak mendengar khutbahnya, maka hendaklah khatib mendatangi kaum wanita tersebut dan bersamanya seorang atau dua orang
yang berbicara kepada mereka yang dapat dijangkau.


http://ustadz.abuhaidar.web.id/2009/05/25/apakah-harus-mandi-apabila-keluar-air-maniy-tetapi-tidak-merasa-mimpi-dan-tidak-meraskan-kenikmatan/

Fatwa-Fatwa Sekitar Ilmu (4)

5. Syaikh hafidhahullah ditanya :

Bagaimana nasihat anda bagi orang yang menjadikan sikap wala dan bara (menyukai dan memusuhi) terhadap saudaranya berdasarkan sesuai tidaknya pendapat dia dengan mereka dalam suatu masalah. Demikian juga apakah akibat dari hasad dan kebencian di kalangan para pencari ilmu ?

Beliau menjawab :

Ini adalah benar karena sebagian orang menjadikan sikap wala dan bara didasarkan pada sesuai tidaknya pendapat mereka dalam suatu masalah. Engkau lihat seseorang berwala (mencintai dan loyal) kepada orang lain karena dia satu pendapat dengan dirinya dalam masalah itu, atau bara memusuhi karena tidak sependapat dalam masalah itu. Saya akan ceritakan sebuah kisah kepada kalian yang pernah kami alami di Mina antara dua kelompok orang Afrika. Masing-masing melaknat dan mengkafirkan kelompok lainnya. Lalu mereka didatangkan kepada kami ketika mereka sedang berselisih. Kami bertanya :” Apa yang terjadi ?” Yang pertama berkata : Orang ini bila shalat meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya di atas dada dan ini kufur kepada sunnah.” Yang kedua berkata :” Orang ini apabila shalat melepaskan kedua tangannya ke kedua pahanya tanpa menyimpan yang kanan di atas yang kiri dan ini kufur karena Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda :‘ Barang siapa yang tidak senang kepada sunnahku maka dia bukan golonganku.”[1] Berdasarkan hal itu mereka saling mengkafirkan satu sama lain. Padahal sudah maklum bahwa masalah ini masalah yang sunnah bukan yang wajib, rukun, ataupun syarat sahnya shalat. Setelah melalui upaya yang panjang dan berat akhirnya mereka rela dan puas di hadapan kami, adapun di belakang kami Allahlah yang lebih tahu. Sekarang engkau temukan beberapa ikhwan amat disayangkan membantah saudaranya lebih dari bantahan terhadap orang-orang atheis yang kekufurannya amat jelas. Dia memusuhi saudaranya lebih dari permusuhan kepada orang-orang Atheis itu dan membicarakan saudaranya dengan perkataan yang tidak ada asalnya dan tak ada hakikatnya, tapi sekedar hasad dan aniaya. Tidak diragukan lagi bahwa hasad termasuk akhlak Yahudi seburuk-buruk hamba Allah.

Kemuadian hasad tidak ada manfaatnya sedikitpun bagi pelakunya bahkan tidak menambah apapun kecuali kesusahan dan kesedihan. Carilah kebaikan untuk orang lain maka engkau akan memperoleh kebaikan itu dan ketahuilah bahwa karunia Allah akan diberikan kepada orang-orang yang dikehendakinya. Seandainya engkau hasad maka engkau tak akan bisa menghalangi karunia Allah, bahkan seringkali engkau menghalangi sampainya karunia Allah padamu karena obsesimu untuk menghilangkan karunia Allah pada diri orang lain dan kebencianmu terhadap turunnya nikmat Allah kepada orang lain. Oleh karena itu orang yang hasad di kalangan para penuntut ilmu diragukan niat dan keikhlasannya dalam menuntut ilmu. Karena dia hanyalah hasad karena keadaan kedua tadi ( yaitu hasad menghalangi turunnya karunia Allah pada dirinya.Pent) Lalu orang yang didengkinya mempunyai kedudukan dan wibawa di hadapan manusia dan orang-orangpun berpaling kepadanya, maka lalu dia hasad kepada orang itu karena dia menginginkan dunia. Adapun kalau dia benar-benar menginginkan akhirat dan benar-benar menginginkan ilmu, maka pasti dia akan bertanya tentang orang yang punya kedudukan dan wibawa di hadapan manusia ini dan akan mengambil ucapannya. Engkau akan bertanya tentang ilmunya agar engkaupun bisa seperti dia, engkau datangi dia untuk mengambil faidah darinya. Adapun bila engkau hasad dan menjelek-jelekkan dia serta menyebarkan aib-aibnya yang tidak terdapat dalam dirinya , maka tidak diragukan lagi bahwa ini adalah sikap aniaya, permusuhan, dan perkara yang tercela.

6. Syaikh ditanya :

Ada beberapa orang penuntut ilmu yang semangat dalam menghadiri pelajaran yang diberikan oleh sesama penuntut ilmu tanpa mementingkan menghadiri pelajaran para ulama yang mampu menghimpun apa yang tidak mampu dihimpun oleh para penuntut ilmu. Bagaimana menurut pandangan Anda ? semoga Allah memelihara Anda.

Beliau menjawab :

Yang saya lihat adalah bahwa seorang manusia harus menuntut ilmu dari seorang yang sudah matang ilmunya. Karena beberapa orang penuntut ilmu merasa sudah mampu mengajar, lalu dia meneliti suatu masalah baik masalah hadis, fikih, atau akidah. Dia menyelidikinya dengan seksama dan menelitinya. Lalu bila hal ini didengar oleh seorang pemula dari kalangan para penuntut ilmu, maka dia akan menyangka bahwa orang ini termasuk salah seorang ulama besar, tetapi kalau dia keluar walau hanya seujung jari dari materi yang sedang dia telaah ini maka akan engkau temukan bahwa dia tidak berilmu. Oleh karena itu wajib bagi para penuntut ilmu yang pemula untuk mendapatkan ilmu dari tangan ulama yang terpercaya baik ilmunya, amanahnya, maupun dinnya.(Bersambung)

Diterjemahkan dari Kitab Al-Ilmu Karya Syaikh Al-Utsaimin Rohimahulloh


[1] Dikeluarkan oleh Bukhari, kitab nikah, bab anjuran nikah. Muslim, kitab nikah, bab sunnahnya nikah bagi orang yang sudah menginginkannya.


http://ustadz.abuhaidar.web.id/2009/05/31/fatwa-fatwa-sekitar-ilmu-4/

Fatwa-Fatwa Sekitar Ilmu (3)

4. Syaikh ditanya :

Melihat lemah dan loyonya semangat dalam mencari ilmu, maka bagaimanakah metoda dan cara yang bisa mendorong tingginya semangat dan minat terhadap ilmu ?

Beliau menjawab :

Lemahnya minat untuk mencari ilmu syar’iy termasuk musibah yang besar. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan.

a). Ikhlas karena Allah Ta’ala dalam mencari ilmu. Seorang manusia apabila ikhlas karena Allah dalam mencari ilmu dan dia mengetahui bahwa dia akan diberi pahala dengan menuntut ilmunya dan akan berada pada tingkat yang ketiga diantara tingkatan umat maka minatnya akan terdorong untuk giat. “Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul maka mereka akan bersama-sama dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah dari kalangan para nabi, para shiddiqin, para syuhada dan para salihin.”(An Nisa :69).

b). Hendaklah selalu bergaul dengan kawan-kawan yang selalu mendorong dia untuk mencari ilmu dan membantunya dalam berdiskusi dan membahas. Dia tidak boleh jemu dalam bersahabat dengan mereka selama mereka membantu dalam mencari ilmu.

c). Hendaklah dia bersabar dalam arti menahan diri bila jiwanya akan berpaling dari ilmu. Allah Ta’ala berfirman kepada nabi-Nya Shalallahu ‘Alaihi wa Salam : “Dan sabarkan dirimu berserta orang-orang yang menyeru kepada Allah setiap pagi dan petang karena menginginkan wajah-Nya dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia.”(Al Kahfi : 28). Jadi hendaklah dia bersabar. Dan apabila dia bersabar dan terbiasa dengan mencari ilmu maka pencarian ilmunya ini akan menjadi karakter bagi dirinya dan bila ada hari yang kosong dari aktifitas mencari ilmu akan terasa sebagai hari yang panjang bagi dirinya. Adapun apabila dia tunduk kepada kehendak jiwanya maka tidak boleh karena jiwa akan menyuruh kepada kejelekan dan syetan akan mendorong dia untuk malas dan tidak belajar. Bersambung)

Diterjemahkan dari Kitab Al-Ilmu Karya Syaikh Al-Utsaimin Rohimahulloh


http://ustadz.abuhaidar.web.id/2009/05/30/fatwa-fatwa-sekitar-ilmu-3/

Fatwa-Fatwa Sekitar Ilmu (2)

3. Fadhilatu Syaikh ditanya tentang :

Sebagian penuntut ilmu syar’iy merasa kesulitan ketika menetapkan niat dan meraih ijazah. Maka bagaimana jalan keluar bagi mereka dari kesulitan ini ?

Beliau menjawab :

Pertanyaan ini dijawab dengan beberapa poin:

a). Jangan hanya meniatkan mencari ilmu untuk memperoleh ijazah saja, tapi jadikan ijazah itu sebagai wasilah (perantara) untuk bekerja di bidang yang bermanfaat untuk umat, karena bekerja untuk jaman sekarang selalu didasarkan pada ijazah. Manusia pada umumnya tidak mampu untuk memberikan manfaat kepada orang lain kecuali dengan perantaraan seperti ini, maka dengan hal ini niatnya menjadi selamat.

b). Sesungguhnya orang yang menginginkan ilmu kadang-kadang tidak memperolehnya kecuali di sistem (lembaga )yang seperti itu, lalu dia masuk ke dalamnya dengan niat mencari ilmu dan nanti dia tidak mementingkan ijazah yang diperolehnya.

c). Sesungguhnya seseorang yang beramal dengan niat memperoleh dua kebaikan, yaitu kebaikan di dunia dan di akhirat, maka dia tidak berdosa dalam hal itu, karena Allah berfirman :” Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah , maka Allah akan menjadikan jalan keluar baginya dan akan memberi rizki yang tidak disangka-sangka.” (At Thalaq :2-3). Ini adalah iming-iming bagi ketaqwaan dengan urusan dunia.

Kalau ada yang berkata ; Bila seseorang beramal untuk memperoleh dunia, maka bagaimana dia bisa dikatakan ikhlas ?

Jawab : Sesungguhnya dia sudah mengikhlaskan ibadah dan ibadahnya tidak ditujukan kepada makhluk secara mutlak, maka dia tidak bertujuan ingin dilihat dan dipuji oleh manusia ( ria) dengan ibadahnya, tetapi dia bertujuan materi sebagai buah ibadah, maka tidak sama dengan orang yang riya yang mendekatkan dia kepada manusia dan menginginkan pujian mereka dengan ibadah yang mestinya ditujukan untuk bertaqarrub kepada Allah. Tetapi tujuan materinya ini akan mengurangi keikhlasannya maka jadilah hal itu sejenis syirik dan kedudukannya dibawah kedudukan orang yang murni hanya menginginkan akhirat.

Dalam kesempatan ini saya ingin mengingatkan sebagian manusia ketika berbicara tentang manfaat ibadah, mereka menggiring hal itu kepada manfaat dunia. Contohnya mereka mengatakan bahwa shalat adalah olah raga yang bermanfaat bagi anggota badan. Shaum bermanfaat untuk menghilangkan kelebihan zat tubuh dan membuat jadwal makan teratur. Seharusnya kita jangan menjadikan manfaat dunia sebagai hal yang pokok karena hal itu bisa mengurangi keikhlasan dan melalaikan dari tujuan akhirat. Oleh karena itu Allah menjelaskan -umpamanya- hikmah shaum di dalam kitab-Nya bahwa hal itu sebagai penyebab taqwa. Jadi manfaat agamawi merupakan hal yang pokok, sedangkan manfaat dunia adalah yang kedua. Ketika kita berbicara di hadapan orang awam, maka kita berbicara kepada mereka dengan aspek agamawi, dan ketika kita berbicara di hadapan orang yang tidak merasa cukup kecuali dengan hal yang bersifat materi maka kita berbicara kepada mereka dengan aspek agamawi dan aspek duniawi. Maka setiap obyek harus disesuaikan isi materi. (Bersambung)

Diterjemahkan dari Kitab Al-Ilmu Karya Syaikh Al-Utsaimin Rohimahulloh


http://ustadz.abuhaidar.web.id/2009/05/28/fatwa-fatwa-sekitar-ilmu-2/

Fatwa-Fatwa Sekitar Ilmu (1)

1. Fadhilatu Syaikh hafidhahullah ditanya :

Bolehkah seorang penuntut ilmu mempelajari aqidah yang bukan berdasarkan madzhab salaf as salih dengan alasan bahwa ulama Fulan beraqidah dengan aqidah ini ?

Beliau menjawab :

Ini tidak boleh karena sudah sampai kebenaran kepadanya, karena yang wajib baginya adalah mengikuti kebenaran dimanapun berada dan mencari kebenaran itu sehingga lepas baginya.

Kebenaran itu -alhamdulillah- murni, dijelaskan bagi orang yang benar niyatnya dan bagus manhajnya, karena Allah Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya :” Dan sungguh Kami telah mudahkan Al Quran untuk peringatan , maka adakah yang mengambil pelajaran.” ( Al Qomar : 17). Tetapi beberapa orang , sebagai mana yang ditanyakan oleh saudara penanya mereka mampunyai ikutan yang diagungkan yang mereka tidak mau jauh dari pendapat ikutan mereka sekalipun kadang-kadang menodai pikiran mereka dan pendapat-pendapat ikutan mereka itu lemah atau batil, tetapi sikap ta’ashub (fanatik) dan hawa nafsu membawa mereka untuk menyetujui ikutan mereka sekalipun telah jelas kebenaran bagi mereka.

2. Fadhilatusy Syaikh ditanya :

tentang orang yang tidak suka mempelajari aqidah khususnya masalah qadar karena takut tergelincir.

Beliau menjawab :

Masalah ini-seperti masalah-masalah penting lainnya yang mesti difahami dengan benar oleh manusia tentang agama dan dunianya - harus dibicarakan dan memohon pertolongan kepada Allah Tabaraka Wa ta’ala untuk mempelajari dan mengetahuinya sehingga jelas kebenaran baginya, karena tidak boleh dia berada dalam keragu-raguan dalam masalah yang penting ini. Adapun masalah-masalah yang tidak begitu penting bagi agamanya seandainya diakhirkan dan khawatir menjadi penyebab terjadinya penyimpangan, maka tidak apa-apa mengakhirkannya selama yang lainnya lebih penting dari hal ini. Dan masalah qadar termasuk masalah penting yang wajib diketahui oleh seorang hamba secara sempurna sehingga dia bisa sampai kepada keyakinan dalam masalah ini.

Sebenarnya masalah ini -alhamdulillah- tidak ada hal yang samar. Yang memberatkan dalam mempelajari aqidah bagi kebanyakan orang adalah mereka amat disayangkan lebih menekankan aspek “bagaimana” dari pada aspek ” mengapa”. Setiap orang akan ditanya tentang amalnya dengan dua kata tanya :”mengapa” dan “bagaimana”. “Mengapa engkau melakukan ini ?” Ini adalah ikhlas. Dan “Bagaimana engkau melakukan ini ?” Ini adalah mutaba’ah (mengikuti) Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam . Kebanyakan manusia sekarang lebih sibuk dengan jawaban “bagaimana” dan lalai dari jawaban “mengapa”. Oleh karena itu engkau banyak menemukan mereka tidak banyak memperhatikan aspek ikhlas sedangkan dalam aspek mutaba’ah (mengikuti Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam) mereka begitu semangat sampai mendetil. Maka orang-orang sekarang lebih memperhatikan aspek ini dan melalaikan aspek yang lebih penting yaitu aspek aqidah, ikhlas, dan tauhid.

Oleh karena itu engkau temukan sebagian manusia dalam urusan agama banyak bertanya pertanyaan yang amat ringan sekali sedangkan hatinya tertuju kepada dunia dan lalai dari Allah secara mutlak baik ketika jual beli, berkendaraan, tempat tinggal, dan pakaian. Bahkan terkadang sebagian orang menjadi hamba bagi dunia tanpa dia sadari, terkadang dia menyekutukan Allah di dunia tanpa dia sadari, karena -amat disayangakan- dia tidak mementingkan aspek tauhid dan aspek aqidah. Ini bukan hanya di kalangan orang awam saja , tetapi juga di kalangan sebagian penuntut ilmu, dan ini berbahaya.

Sebagaimana juga hanya memfokuskan kepada aqidah saja tanpa amal yang oleh syariat dijadikan sebagai pelindung dan benteng, juga salah, karena kita sering mendengar di radio dan kita baca di koran memfokuskan bahwa agama ini adalah aqidah yang bersih saja, dan ungkapan lainnya yang senada dengan itu. Sebenarnya hal ini dikhawatirkan akan menjadi pintu yang akan dimasuki orang dalam menghalalkan sebagian yang haram dengan alasan bahwa aqidahnya sudah selamat. Tetapi mesti diperhatikan dua hal agar bisa menjawab dengan benar terhadap pertanyaan “kenapa” dan “bagaimana”.

Kesimpulan dari jawaban tersebut adalah : Bahwa wajib bagi setiap orang mempelajari ilmu tauhid dan aqidah agar dia menjadi orang yang berada di atas bashirah (ilmu) tentang ilaah dan sesembahannya Jalla wa ‘Alaa , tentang nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, tentang hukum-hukum kauniyah-Nya (hukum alam) hukum-hukum syariat-Nya, tentang hikmah-Nya dan rahasia dari syariat dan ciptaan-Nya sehingga dia tidak menyesatkan dirinya ataupun orang lain.

Ilmu tauhid adalah semulya-mulya ilmu karena kemulyaan materi yang dipelajarinya. Oleh karena itu para ulama menamainya dengan sebutan Al Fiqhul Akbar. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda :” Barang siapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah maka Allah akan membuat dia faham tentang agamanya.[1] Materi awal yang harus dimasuki tentang agam tersebut adalah ilmu tauhid dan aqidah tetapi wajib pula bagi setiap orang untuk mencari bagaimana mengambil ilmu ini dan dari mana sumber untuk memperolehnya. Maka pertama kali ambillah bagian yang bersih dari ilmu ini dan yang selamat dari syubuhat, kemudian pindah kepada yang kedua yaitu memperhatikan apa yang dijelaskan oleh ilmu ini tentang kebid’ahan dan syubuhat agar dia bisa membantah dan menjelaskannya dari apa yang telah dia ambil dari aqidah yang bersih. Dan hendaklah dia menjadikan sumber pengambilan tentang masalah ini dari kitab Allah dan sunnah Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam , kemudian dari ucapan para sahabat Radhiyallahu ‘Anhu , kemudian dari penjelasan para imam setelah mereka dari kalangan tabiin dan tabiut tabiin, kemudian dari apa yang telah dikatakan oleh para ulama yang terpercaya ilmu dan amanahnya, khususnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim, semoga rahmat dan keridhaan Allah tercurah kepada keduanya dan kepada seluruh kaum muslimin dan imam-imam mereka. (Bersambung)

Diterjemahkan dari Kitab Al-Ilmu Karya Syaikh Al-Utsaimin Rohimahulloh


[1] Takhrij hadis ini sudah diterangkan pada halaman yang lalu.

http://ustadz.abuhaidar.web.id/2009/05/27/fatwa-fatwa-sekitar-ilmu/

Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu (5)

Kesebelas : Tatsabbut dan Tsabat

Diantara adab terpenting yang wajib dimiliki oleh setiap penuntut ilmu adalah tatsabbut. Baik dalam hal berita yang disampaikan maupun dalam hal hukum yang bersumber dari pendapatmu. Apabila ada berita yang disampaikan maka hendaklah engkau menyelidiki terlebih dahulu apakah berita itu benar atau tidak, Kemudian apabila ternyata benar, maka janganlah langsung menghukumi. Selidikilah aspek hukumnya, sebab mungkin saja berita yang engkau dengar itu dibangun di atas dasar kebodohanmu lalu engkau menghukuminya bahwa hal ini salah, padahal kenyataannya hal itu tidak salah. Akan tetapi bagaimana solusi dari keadaan ini ?

Solusinya adalah engkau menghubungi orang yang menjadi objek berita lalu engkau katakan padanya bahwa telah diberitakan tentang dirimu begini dan begini, apakah hal itu benar ? Kemudian engkau berdiskusi dengannya. Kadang-kadang pengingkaran dan sikap menjauhmu dari dia pada awal ketika engkau mendengar berita tentang dia karena engkau tidak tahu apa penyebab timbulnya berita itu. Peribahasa mengatakan bahwa apabila diketahui sebab maka hilanglah rasa heran. Oleh karena itu mau-tidak mau harus menyelidiki terlebih dahulu. Kemudian setelah itu engkau menghubungi orang tersebut dan bertanya kepadanya apakah hal itu benar atau tidak ? Kemudian engkau berdiskusi dengannya. Hasilnya mungkin dialah yang berada di atas kebenaran lalu engkau yang rujuk kepadanya atau kebenaranlah yang menyertaimu lalu dia rujuk kepadamu.

Ada perbedaan antara Tsabat dan Tatsabbut. Keduanya merupakan istilah yang hampir serupa dari segi lafazh tetapi berbeda dalam masalah arti. Tsabat artinya adalah sabar dan ulet, tidak jemu dan tidak bosan serta tidak mengambil sebagian dari setiap kitab atau secuil dari satu disiplin ilmu lalu ditinggalkannya, karena hal ini akan membahayakan si penuntut ilmu, dan waktupun terbuang tanpa faidah. Umpamanya ada penuntut ilmu dalam masalah Nahwu kadang-kadang membaca buku Al Ajurumiyah tapi di waktu lain membaca matan Qatrun Nada, dan di waktu yang lain lagi dia membaca Alfiyah. Demikian pula dalam hal ilmu mushthalah, kadang dia membaca kitab Nukhbah, kadang Alfiyah Al Iraqy. Juga dalam hal fiqih, kadang dia membaca kitab Zaadul Mustaqni’ kadang membaca Umdatul Fiqh, atau Al Mughny, atau syarah Muhadzdzab. Demikianlah seterusnya pada setiap kitab. Pada umumnya orang yang begini tidak akan meraih ilmu, kalau bisa meraih ilmupun hanya pada beberapa masalah tapi tidak mendasar. Orang yang memperoleh ilmu dalam beberapa masalah seperti orang yang menemukan belalang satu demi satu. Jadi penuntut ilmu haruslah belajar dengan mendasar, mendalam dan ulet. Inilah yang penting. Ulet dalam berhubungan dengan kitab yang engkau baca dan engkau ulang-ulang, ulet juga dalam hal guru tempat engkau menimba ilmu. Janganlah engkau belajar secara memutar setiap pekan kepada seorang guru, atau setiap bulan berganti guru ! Pertama-tama tetapkan (pilih) seorang guru tempat engkau menimba ilmu, kemudian setelah mantap tetaplah (belajar padanya) dan janganlah setiap pekan atau bulan engkau berganti guru. Tidak ada perbedaan antara memilih guru dalam masalah fiqih lalu terus kontinyu bersamanya dalam masalah fiqih, dan guru lain dalam masalah Nahwu lalu engkau menetap belajar kepadanya dalam masalah Nahwu. Dan guru lain dalam masalah aqidah dan tauhid lalu engkau terus bersamanya dalam hal itu. Yang penting engkau jangan berganti-ganti guru, sehingga engkau menjadi seperti seorang tukang menceraikan, setiap kali menikahi seorang wanita dia tinggal bersama wanita itu selama sepekan lalu dia ceraikan dan pergi untuk mencari yang lain.

Demikian juga tatsabbut adalah sesuatu yang penting karena orang yang menyampaikan berita kadang-kadang mereka mempunyai maksud jelek. Mereka menyampaikan berita yang kedengarannya jelek secara sengaja, Kadang-kadang mereka tidak mempunyai maksud jelek tetapi mereka memahami sesuatu dengan pemahaman yang sebaliknya dari yang dimaksud. Oleh karena itu wajib tatsabbut (menyelidiki) Apabila yang diberitakan telah yakin sanadnya barulah melangkah ke taraf diskusi dengan orang yang diberitakan sebelum engkau menghukumi perkataannya bahwa dia itu salah atau tidak salah. Hal ini disebabkan karena kadang-kadang dengan diskusi nampaklah olehmu bahwa kebenaran menyertai orang perkataannya diberitakan tadi.

Kedua belas : Bersungguh-sungguh dalam memahami maksud perkataan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam .

Diantara perkara yang penting bagi para penuntut ilmu adalah masalah pemahaman, artinya memahami apa yang dimaksud oleh Allah Azza Wajalla dan apa yang dimaksud oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam karena kebanyakan menusia diberi ilmu akan tetapi tidak diberi pemahaman. Tidaklah cukup bagi engkau untuk menghafal kitab Allah dan apa yang mudah dari sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tanpa pemahaman. Engkau harus memahami apa yang Allah maksud dan apa yang dimaksud oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari Allah dan rasul-Nya. Betapa banyaknya kesalahan yang dilakukan oleh manusia yang berdalil dengan nash tetapi tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Allah dan Rasul-Nya lalu lahirlah kesesatan akibat hal itu.

Disini saya ingin mengingatkan tentang satu point penting yaitu bahwa kesalahan dalam memahami kadang-kadang lebih berbahaya dari pada kesalahan karena kebodohan. Karena orang yang bodoh yang bersalah karena kebodohannya mengetahui bahwa dia bodoh dan dia akan belajar. Tetapi orang yang pemahamannya salah meyakini dirinya berilmu dan benar dan meyakini bahwa inilah yang dimaksud oleh Allah dan Rasul-Nya. Kita berikan dua contoh dalam hal ini agar jelaslah bagi kita pentingnya pemahaman.

Contoh pertama :

Allah berfirman : (QS. 21 : 78-79)

Allah telah memberikan kelebihan kepada Sulaiman dari pada Dawud dalam masalah ini berupa pemahaman : ” Maka Kami berikan pemahaman kepada Sulaiman tentang masalah ini.”" Akan tetapi tidak ada kekurangan dalam ilmu Dawud. ” Dan masing-masing telah Kami berikan hikmah dan ilmu.”

Perhatikanlah ayat yang mulia ini, ketika Allah menerangkan keistimewaan Sulaiman berupa pemahaman, Allahpun menerangkan juga kelebihan Dawud, makanya Allah berfirman : ” Dan Kami tundukkan bagi Dawud……”. Sehingga seimbanglah masing-masing keduanya. Lalu Allah menerangkan apa yang sama dalam diri mereka berupa hikmah dan ilmu kemudian Dia menerangkan keistimewaan masing-masing dibanding yang lainnya.

Ini menunjukkan kepada kita tentang pentingnya pemahaman, dan ilmu bukanlah segalanya.

Contoh kedua :

Bila engkau mempunyai dua buah bejana yang satu berisi air hangat dan yang satu lagi berisi air dingin, dan saat itu sedang musim dingin. Lalu datanglah seseorang yang ingin mandi junub, lalu sebagian orang berkata :” Yang lebih utama engkau menggunakan air dingin karena dalam penggunaan air dingin terkandung kesulitan, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Maukah aku tunjukkan kepada kalian apa yang bisa menyebabkan Allah menghapus kesalahan dan meningangkat derajat ?” Maka sahabat menjawab : Mau ya Rosulullah !” Beliau bersabda :” Menyempurnakan wudhu pada saat sulit…….”[1]

Maknanya adalah berwudhu pada waktu dingin, Jadi apabila engkau menyempurnakan wudhu dengan air dingin maka hal itu lebih utama dari pada berwudhu dengan air hangat yang sesuai dengan suhu udara. Lalu orang itu memfatwakan bahwa menggunakan air dingin ketika itu lebih utama karena berdalil dengan hadis tadi.

Apakah ini kesalahan dalam hal ilmu atau kesalahan pemahaman ?

Jawab :

Ini adalah kesalahan dalam pemahaman karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :” Menyempurnakan wudhu ketika sulit ” Beliau tidak berkata :” Hendaklah kamu pilih air dingin untuk wudhu !” Bedakanlah kedua kalimat ini ! Seandainya di dalam hadis ini dikatakan kalimat yang kedua maka kita katakan : Ya ! kita memilih air dingin, tapi beliau berkata :” Menyempurnakan wudhu di saat sulit.” Artinya orang tidak terhalang dinginnya air untuk menyempurnakan wudhu.

Kemudian kita katakan :” Apakah Allah menginginkah kemudahan bagi hamba-Nya ataukah menghendaki kesulitan ?

Jawabnya ada dalam firman Allah :” Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan.” (QS. Al Baqarah : 185).

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam :” Sesungguhnya agama itu mudah.”[2]

Maka saya katakan kepada para penuntut ilmu bahwa masalah pemahaman adalah masalah yang penting, maka wajib kita memahami. Apa yang kehendaki oleh Allah dari hamba-hamba-Nya ? Apakah Dia hendak menyulitkan mereka dalam melaksanakan ibadah ataukah menghendaki kemudahan ?

Tidaklah diragukan lagi bahwa Allah menghendaki kemudahan bagi kita dan tidak menghendaki kesulitan.

Inilah beberapa adab yang diharapkan memiliki dampak bagi pada penuntut ilmu terhadap ilmunya sehingga mereka menjadi tauladan yang baik dan menjadi penyeru kepada kebaikan serta menjadi imam dalam agama Allah Azza Wajalla. Dengan sabar dan yakinlah keimamahan dalam agama bisa diraih sebagaimana firman Allah :” Dan Kami telah menjadikan imam-imam di kalangan mereka yang memberi petunjuk dengan perintah Kami karena kesabaran mereka dan mereka yakin kepada ayat-ayat kami.” (QS. As Sajdah : 24).


[1] Riwayat Muslim, kitab thoharah, bab keutamaan wudhu di saat sulit.

[2] Riwayat Bukhari, kitab iman, bab agama itu mudah.


http://ustadz.abuhaidar.web.id/2009/05/25/adab-adab-yang-harus-dipenuhi-oleh-pencari-ilmu-5/

Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu (4)

Kesepuluh : Berpegang teguh kepada kitab dan sunnah.

Setiap penuntut ilmu wajib memiliki semangat yang tinggi untuk memperoleh ilmu dan mengambilnya dari akar/dasar yang tidak mungkin dicapai oleh penuntut ilmu bila tidak dimulai dari hal ini. Yaitu :

1. Al Quranul Karim.

Setiap penuntut ilmu wajib memiliki semangat untuk membaca, menghafalkan, memahami dann mengamalkan Al Quran, karena Al Quran adalah tali Allah yang kuat dan menjadi dasar bagi segala ilmu. Generasi salaf dahulu memiliki semangat yang amat tinggi dalam hal ini sehingga sering dikisahkan tentang mereka kisah-kisah yang menakjubkan tentang tingginya semangat mereka terhadap Al Quran. Engkau dapati salah seorang diantara mereka telah hafal Quran sejak usia tujuh tahun, sebagian lagi ada yang menghafalkan Quran kurang dari satu bulan. Hal ini menunjukkan tingginya semangat generasi salaf Radhiyallahu ‘anhu terhadap Al Quran, maka setiap penuntut ilmu wajib memiliki semangat yang tinggi terhadap Quran dan menghafalkannya di bawah bimbingan seorang pengajar karena Al Quran diambil dengan cara talaqqy (dipelajari secara langsung dari guru).

Termasuk hal yang amat disayangkan yaitu apa yang engkau lihat bahwa sebagian penuntut ilmu tidak menghafal Quran bahkan sebagian diantara mereka tidak bagus bacaannya. Ini adalah aib yang besar dalam manhaj penuntut ilmu. Oleh karena itu saya ulang berkali-kali bahwa setiap penuntut ilmu wajib memiliki semangat yang besar untuk menghafal Quran, mengamalkannya dan menda’wahkannya serta memahaminya dengan pemahaman yang sesuai dengan pemahaman salafus soleh.

2. Sunnah yang sahihah.

Sunnah adalah sumber kedua bagi syariat Islam. Dia adalah yang menjelaskan Al Quran yang mulia, maka penuntut ilmu wajib memadukan keduanya (Quran dan sunnah) dan menaruh minat yang tinggi terhadap keduanya. Setiap penuntut ilmu harus menghafalkan sunnah, baik menghafalkan redaksi hadis atau dengan mempelajari sanad-sanad dan matannya dan membedakan antara yang sahih dengan yang dhoif. Demikian pula memelihara sunnah dengan cara membelanya dan membantah syubhat ahli bid’ah tentang sunnah.

Setiap penuntut ilmu harus loyal/berpegang teguh kepada Quran dan sunnah yang sahihah. Bagi seorang penuntut ilmu, keduanya (Quran dan sunnah) bagaikan dua sayap bagi seekor burung yang apabila salah satunya patah maka si burung tidak akan bisa terbang.

Oleh karena itu jangan sampai engkau memperhatikan sunnah tapi melalaikan Quran atau memperhatikan Quran tapi melalaikan sunnah. Banyak penuntut ilmu yang memperhatikan sunnah baik syarahnya, rijalnya, ataupun mushtholahnya dengan perhatian yang besar akan tetapi apabila engkau bertanya kepadanya tentang salah satu ayat dalam kitab Allah maka engkau lihat dia bodoh tentang hal itu. Ini adalah kesalahan besar. Jadi Quran dan sunnah harus menjadi dua sayap bagimu wahai para pencari ilmu.

Ada hal ketiga yang amat penting yaitu pendapat para ulama. Janganlah engkau meremehkan pendapat ulama dan jangan menyepelekannya karena para ulama lebih mendalam ilmunya dari padamu. Mereka memiliki kaidah-kaidah syar’iyyah, rahasia-rahasia serta batasan-batasannya yang tidak engkau ketahui. Oleh karena itu para ulama yang mulia dan para muhaqiq apabila menurut mereka telah jelas satu pendapat, mereka mengatakan : “ Bila salah seorang diantara ulama berpendapat demikian maka kamipun berpendapat demikian, kalau tidak maka kamipun tidak. Contohnya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rohimahulloh dengan ketinggian ilmunya dan keluasan muthola’ahnya tapi apabila beliau mengatakan satu perkataan yang beliau tidak mengetahui siapa yang berpendapat demikian beliau mengatakan :” Saya berpendapat begini apabila ada ulama yang berpendapat demikian.“ Lalu beliau tidak mengambil pendapat itu.

Oleh karena itu setiap penuntut ilmu wajib rujuk kepada kitab Allah dan sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan memahaminya dengan penjelasan ulama.

Rujuk kepada kitab Allah dengan cara menghafalkannya, menelaahnya, dan mengamalkan apa-apa yang ada di dalamnya, karena Allah berfirman :

Inilah kitab yang kami turunkan kepadamu yang penuh barakah agar mereka menelaah ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal bisa mengambil pelajaran.” (QS Shad : 29).

Menelaah ayat-ayat-Nya sehingga bisa sampai kepada memahami maknanya. Sedangkan mengambil pelajaran maksudnya mengamalkan Al Quran.

Al Quran diturunkan untuk tujuan ini. Bila diturunkan untuk ini maka hendaklah kita kembali kepada kitab Allah agar kita menelaah dan mengetahui maknanya kemudian kita menerapkannya. Demi Allah di dalam hal ini terdapat kebahagiaan dunia dan akhirat. Allah berfirman :” Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk dari-Ku maka dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan baranga siapa yang berpaling dari peringatan-Ku maka dia akan mendapatkan kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” ( QS, Thoha : 123-124).

Oleh karena itu sampai kapanpun engkau tidak akan menemukan orang yang lebih nikmat kehidupannya, lebih lapang dadanya, dan lebih tenang hatinya dari pada orang mukmin sekalipun dia miskin. Seorang mukmin adalah seorang manusia yang paling lapang dadanya, paling tenang hatinya, dan paling luas perasaannya. Bila kalian mau bacalah firman Allah Ta’ala :” Barang siapa yang beramal solih baik laki-laki ataupun wanita dan dia mukmin maka Kami akan memberikan kehidupan yang baik baginya dan akan Kami berikan balasan pahala mereka karena kebaikan amal yang telah mereka lakukan.” (QS. An Nahl : 97).

Apakah kehidupan yang baik itu ?

Jawab : Kehidupan yang baik adalah kelapangan dada dan ketenangan hati sekalipun seseorang berada pada keadaan yang sulit, tapi hatinya tenang dan dadanya lapang. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :” Sungguh mempesonakan urusan orang mukmin karena seluruh urusannya baik. Hal itu tidak layak bagi seorangpun kecuali bagi seorang mukmin. Bila dia ditimpa kesulitan maka dia sabar maka hal itu baik baginya. Dana apabila dia mengalami kesenangan dia bersyukur maka hal itu baik bagi dirinya.”

Seorang yang kafir apabila dia ditimpa kesusahan, apakah dia bersabar ? Jawabnya : Tidak ! Bahkan dia akan bersedih dan dunia akan terasa sempit baginya kadang-kadang dia putus asa dan bunuh diri. Akan tetapi seorang mukmin dia akan bersabar dan akan merasakan kelezatan sabarnya berupa kelapangan dada dan ketenangan, oleh karena itu kehidupannya menjadi baik. Inilah maksud firman Allah :” Maka Kami akan memberikan kehidupan yang baik kepadanya.” Kehidupan yang baik di dalam hati dan jiwanya.

Salah seorang ahli sejarah ketika menceritakan tentang kehidupan Al Hafizh Ibnu Hajar Rohimahulloh mengisahkan bahwa beliau seorang hakim di Mesir pada zamannya. Apabila beliau pergi ke tempat kerjanya beliau selalu datang dengan memakai kereta yang ditarik dengan kuda. Suatu hari beliau bertemu dengan seorang Yahudi penjual minyak di Mesir. Biasanya penjual minyak itu pakaiannya kotor. Lalu Yahudi ini menghentikan kendaraan Sang Hakim, lalu berkata kepada Imam Ibnu Hajar Rohimahulloh :” Sesungguhnya Nabi kalian pernah bersabda :” Dunia ini penjara bagi orang mukmin tapi surga bagi orang kafir.”[1] Anda adalah seorang hakim agung di Mesir, menunggang kendaraan ini dan berada dalam kenikmatan ini. Sedangkan aku berada dalam derita dan sengsara seperti ini ?[2]

Berkatalah Ibnu Hajar Rohimahulloh : “ Aku dalam keadaanku sekarang berupa kemewahan dan kenikmatan, tapi dibanding kenikmatan surga ibarat penjara. Sedangkan engkau dengan penderitaanmu sekarang dibanding adzab neraka nanti ibarat surga.” Berkatalah Yahudi “ Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.. Dia masuk Islam.

Seorang mukmin akan selalu baik bagaimanapun keadaannya dan dialah yang beruntung dunia akhirat.

Sedangkan orang kafir selalu jelek dan dialah yang akan rugi dunia dan akhirat.

Allah berfirman :” Demi waktu Asar, sesungguhnya manusia pasti rugi kecuali orang-orang yang beriman dan beramal soleh serta saling mewasiatkan dalam kebenaran dan saling mewasiatkan dalam kesabaran.” (QS Al Ashr : 1-3)

Jadi orang-orang kafir dan orang-orang yang menyia-nyiakan agama Allah dan tenggelam dalam kesenangan dan kemewahan hidup mereka, sekalipun mereka membangun istana dan menguatkan serta bergelimang dalam gemerlapnya dunia tetapi hakikatnya mereka berada dalam neraka Jahim, sehingga sebagaian salaf pernah mengatakan :” Seandainya para penguasa serta para begundalnya mengetahui kenikmatan yang kami rasakan pastilah mereka akan memenggal kami dengan pedang.”

Adapun orang mukmin, mereka tenggelam dalam kenikmatan dengan bermunajat dan dzikir kepada Allah. Mereka selalu beserta ketentuan Allah dan taqdir-Nya. Bila mereka ditimpa penderitaan mereka akan sabar dan bila mengalami kesenangan mereka akan bersyukur. Maka mereka selalu berada dalam keadaan yang paling menyenangkan. Berbeda dengan para pemilik harta, mereka berada dalam keadaan seperti yang digambarkan oleh Allah :” Kalau mereka diberi kenikmatan dunia, mereka ridha, tetapi kalau mereka tidak diberi tiba-tiba mereka marah.” (QS. At Taubah : 58).

Adapun rujuk kepada sunnah Nabi maka sunnah Rasul sekarang ada terpelihara di tengah-tengah kita, Alhamdulillah. Sampai hadis palsu atas nama Nabipun ada. Dan para ahli ilmu telah menjelaskan mana yang benar-benar sunnah dan mana yang palsu, sehingga tinggallah yang sunnah dengan jelah dan terpelihara, Alhamdulillah, sehingga setiap orang bisa sampai kepadanya baik dengan merujuk kepada kitab-kitab –bila memungkinkan- atau dengan cara bertanya kepada ahli ilmu.

Akan tetapi bila ada orang yang berkata :” Bagaimana memadukan antara yang anda katakana berupa rujuk kepada kitab Allah dan sunnah Rasul, dengan kenyataan bahwa kita menemukan orang-orang mengikuti kitab-kitab yang dikarang dalam madzhab-madzhab ? Sehingga ada yang berkata :” Madzhab saya adalah ini !” Yang lain mengatakan :” Madzhab saya itu !” dan seterusnya sehingga bila anda berfatwa kepada seseorang dengan mengatakan :” Telah berkata Nabi Shalallahu alaihi wasallam begini dan begini ….” Tapi orang itu mengatakan :” Madzhab saya Hanafy, atau Maliky, atau Syafi’iy, dan seterusnya…….

Kita jawab bahwa kita semua mengatakan : Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang Haq selain Allah dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Lalu apa makna syahadat bahwa Muhammad itu utusan Allah ?

Para ulama mengatakan bahwa maknanya adalah : Mentaatinya dalam semua perintahnya, membenarkan semua yang diberitakannya, dan menjauhi semua yang dilarangnya, serta tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang disyariatkannya.

Bila ada orang yang mengatakan bahwa madzhabku adalah anu, maka kita katakana kepadanya bahwa ini adalah ucapan Rasul Shalallahu alaihi wasallam , maka janganlah kamu menentangnya dengan perkataann siapapun.

Para imam madzhab pun melarang kita dari taqlid kepada mereka dengan taqlid buta. Mereka mengatakan :” Ketika kebenaran telah jelas maka wajiblah untuk merujuk kepadanya.”

Kita katakana kepada orang yang menentang kita dengan madzhab tertentu :” Kami dan anda sama-sama beersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Konsekwensi dari persaksian ini adalah kita tidak mengikuti siapapun kecuali Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam.

Inilah sunnah di depan kita dengan jelas dan nyata. Tapi maksud saya dengan ucapan ini bukan berarti mengecilkan pentingnya merujuk kepada kitab para fuqoha dan ahli ilmu, bahkan merujuk kepada kitab-kitab mereka untuk mengambil manfaat dan mengetahui metoda penetapan hukum dari dalilnya termasuk perkara yang tidak mungkin dilakukan oleh para penuntut ilmu kecuali dengan merujuk kepada kitab-kitab tersebut.

Oleh karena itu kita temukan bahwa orang-orang yang tidak belajar melalui bimbingan para ulama, kita temukan bahwa mereka memiliki penyimpangan yang banyak, karena mereka akan memandang dengan sudut pandang yang minim dari pandangan yang semestinya. Umpamanya mereka mengambil sahih Bukhari, lalu mereka memegang pandapat yang terkandung dalam hadis-hadis tersebut, padahal di dalam hadis-hadis tersebut ada yang sifatnya umum, ada yang khusus, ada yang mutlak ada pula yang muqoyyad. Ada pula yang mansukh akan tetapi mereka tidak tertunjuki kearah itu, akhirnya mereka terjerumus ke dalam kesesatan yang besar. (Bersambung)

Diterjemahkan dari Kitab Al-Ilmu oleh Syaikh Al-Utsaimin Rohimahulloh


[1] Riwayat Muslim, kitab zuhud

[2] Diriwayatkan oleh Muslim, kitab Zuhud, bab orang mukmin itu semua urusannya baik.


http://ustadz.abuhaidar.web.id/2009/05/25/adab-adab-yang-harus-dipenuhi-oleh-pencari-ilmu-4/

Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu (3)

Ketujuh : Hikmat.

Penuntut ilmu harus menjadi orang yang dihiasi dengan sifat hikmah, karena Allah Ta’ala berfirman : “Allah memberi hikmah kepada orang yang dikehendaki, dan barang siapa orang yang diberi hikmah maka berarti dia sudah diberi kebaikan yang banyak.” (Qs. AL Baqarah 269). Hikmah berarti seorang penuntut ilmu harus mendidik orang lain dengan akhlak yang dimilikinya dan dengan ajaran yang dida’wahkannya dari agama ini dengan cara berbicara dengan setiap orang dengan cara yang sesuai dengan keadaan orang tersebut. Bila kita menempuh cara ini maka kita akan memperoleh kebaikan yang banyak sebagaiman firman Allah Ta’ala :” Barang siapa yang telah diberi hikmah maka sungguh dia telah mendapatkan kebaikan yang banyak.” ( (QS Al Baqarah : 269).

Orang yang hikmah adalah orang yang mempu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya karena hikmah diambil dari kata ihkam yang artinya itqon, sedangkan itqon artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya. Maka setiap penuntut ilmu wajib menjadi orang yang hikmah dalam da’wahnya.

Allah telah menerangkan tentang tingkatan da’wah dalam firman-Nya :” Serulah manusia ke jalan Rabbmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik serta berdebatlah dengan mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An Nahl 125). Allahpun menerangkan tingkatan keempat dalam berdebat dengan ahli kitab. Dia berfirman :” Dan janganlah kalian berdebat dengan ahli kitab kecuali dengan cara yang lebih baik kecuali kepada orang yang dhalim diantara mereka.” (Al Ankabut : 46).

Seorang penuntut ilmu harus memilih cara da’wah yang yang lebih dekat untuk diterima. Contoh hal itu adalah dalam da’wah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam. Ada seorang Arab Badui datang ke mesjid dan dia kencing di salah satu pojok mesjid. Para sahabatpun bangkit untuk mencegahnya, tapi mereka dilarang oleh Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam. Setelah orang itu selesai dari kencingnya Nabipun memanggil dia dan berkata kepadanya :” Sesungguhnya masjid ini tidaklah pantas untuk sesuatupun dari kencing atau kotoran, hanyalah mesjid itu untuk dzikir kepada Allah Azza wajalla, shalat, dan membaca AL Quran.”[1] Atau seperti yang dikatakan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam. Apakah kalian melihat hal yang lebih hikmah dari hal ini ? Maka orang Arab Badui inipun lapang dadanya dan rela sehingga dia berdoa :” Ya Allah,berilah rahmat kepadaku dan kepada Muhammad saja dan janganlah Engkau berikan rahmat kepada seorangpun selain kami.

Kisah lainnya dari Muawiyah Bin Hakm As Sulamy, dia berkata :” Ketika saya sedang shalat bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam tiba-tiba salah seorang ada yang bersin, lalu aku berkata :” Semoga Allah merahmatimu.” Maka orang-orangpun menujukan pandangan mereka kepadaku, lalu aku berkata :” Ada apa dengan kalian ? Kenapa kalian memandang kepadaku ?” Maka orang-orangpun memukul-mukulkan tangan mereka ke paha-paha mereka. Maka ketika aku melihat bahwa mereka bermaksud mendiamkanku maka akupun diam. Setelah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam selesai shalatnya maka demi bapakku,dia, dan ibuku, aku tidak pernah melihat seorang yang lebih baik mengajarnya dari pada beliau, beliau tidak membenciku, mumukulku atau mencelaku, beliau hanya berkata :” Sesungguhnya shalat ini tidaklah pantas di dalamnya ada perkataan manuisa sedikitpun, sebab shalat itu hanyalah tasbih, takbir, dan bacaan Al Quran.”[2] Dari sini kita temukan bahwa mengajak kepada Allah wajib dengan cara yang hikmah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Azza wajalla.

Contoh lain bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam melihat seorang laki-laki sedang memakai cincin dari emas di tangannya, sedangkan cincin emas haram bagi laki-laki. Lalu Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam mencabut emas itu dari tangannya dan melemparkannya sambil berkata :” Salah seorang diantara kalian bersandar kepada bara api neraka lalu menyimpannya di tangannya ?[3] Setelah Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam pergi, maka ada yang berkata kepada laki-laki itu : “ Ambil cincinmu dan manfaatkanlah !” Diapun berkata :” Demi Allah, aku tidak akan mengambil cincin yang telah dilemparkan oleh Rasuluillah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam.” Cara memberi bimbingan dalam kasus ini lebih keras karena bagi setiap kasus ada caranya tersendiri. Demikianlah setiap orang yang mengajak kepada Allah hendaklah menempatkan setiap urusan pada tempatnya dan janganlah menempatkan manusia pada level yang sama. Yang menjadi maksud utama adalah teraihnya manfaat.

Kalau kita perhatikan apa yang banyak dilakukan oleh para da’I sekarang maka akan kita temukan bahwa sebagian dari mereka lebih didominasi oleh perasaan ghirah sehingga membuat manusia lari dari da’wahnya. Dan kalau dia melihat orang lain melakukan sesuatu yang haram maka akan engkau dapatkan bahwa dia akan menegurnya dengan keras dan kasar dengan mengatakan :” Kamu tidak takut kepada Allah ?” Dan perkataan yang semisal itu sehingga membuat orang itu lari dari dia. Ini tidaklah baik karena hal ini kontra produktif. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ketika mengutip perkataan Imam Syafi’I tentang pendapat beliau terhadap ahli kalam ketika mengatakan :” Ketetapanku tentang ahlu kalam hendaklah mereka dipukul dengan pelepah kurma dan sendal lalu diarak berkeliling di jalan-jalan sambil dikatakan kepadanya : Inilah balasan bagi orang yang meninggalkan kitab dan sunnah dan memperhatikan ilmu kalam..

Berkata Syaikhul Islam :” Sesungguhnya manusia apabila melihat kepada mereka (ahli kalam) maka akan mereka temukan bahwa mereka berhak menerima hukuman seperti yang dikatakan oleh Imam Syafi’I dari satu segi akan tetapi apabila manusia melihat mereka dengan kacamata taqdir, bagaimana kebingungan telah menguasai mereka, dan syetan telah mendominasi mereka maka manusia akan merasa kasian kepada mereka dan mengasihi mereka dan akan bersyukur kepada Allah karena Allah telah menyelamatkan dirinya dari musibah yang Allah timpakan kepada mereka. Mereka diberi kecerdasan tetapi tidak diberi kesucian, mereka diberi pemahaman tetapi tidak diberi pengetahuan, mereka diberi pendengaran, penglihatan, dan hati tetapi semua itu tidak berguna sedikitpun bagi mereka.

Demikianlah wahai saudaraku, hendaklah kita melihat kepada ahli maksiyat dengan dua jenis pandangan. Pandangan syar’i dan pandangan taqdir. Pandangan taqdir artinya kita tidak boleh mempedulikan celaan orang yang mencela dalam menjalankan hukum Allah sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang wanita dan laki-laki pezina :” Maka jilidlah mereka berdua masing-masing seratus kali dan janganlah kalian merasa kasian kepada keduanya dalam melaksanakan agama Allah.” (QS. An Nur : 2).

Kalau kita memandang mereka dengan pandangan taqdir maka kita akan mengasihani mereka dan iba kepada mereka serta bermuamalah dengan mereka dengan cara yang kira-kira lebih dekat kepada tercapainya tujuan dan terkikisnya hal yang tidak disukai. Inilah sikap seorang penuntut ilmu, berbeda dengan orang yang bodoh yang memiliki ghirah akan tetapi dia tidak memiliki ilmu. Maka seorang penuntut ilmu yang sekaligus sebagai da’I yang selalu mengajak kepada Allah wajib menerapkan pola hikmah.

Kedelapan : Seorang penuntut ilmu harus sabar dalam belajar.

Artinya ulet dalam mencari ilmu, tidak putus di tengah jalan, dan tidak bosan, tapi harus kontinyu dalam belajar semampu mungkin hendaklah dia fokuskan perhatian kepada ilmu dan tidak bosan karena seorang manusia apabila dihinggapi dengan bosan maka dia akan cepat lelah lalu akan meninggalkan belajarnya, akan tetapi apabila dia ulet di atas ilmu maka dia akan memperoleh pahala orang-orang yang sabar dari satu sisi dan dia akan memetik hasil dari sisi lain. Dengarlah firman Allah Azza wajalla ketika Dia berfirman kepada nabi-Nya :” Itulah diantara berita yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu yang sebelumnya kamu tidak ketahui juga tidak diketahui oleh kaummu, maka bersabarlah, sesungguhnya hasil yang baik diperuntukkan bagi orang-orang yang taqwa.” (QS. Hud : 49).

Kesembilan : Menghormati ulama dan memulyakan mereka.

Setiap penuntut ilmu wajib menghormati ulama dan memulyakan mereka serta berlapang dada ketika terjadi ikhtilaf antara ulama dengan selain mereka dan memaklumi orang yang menempuh jalan yang salah dalam i’tikad mereka. Ini point yang penting sekali karena sebagian manusia ada yang memperhatikan kesalahan orang lain untuk disikapi dengan sikap yang tidak layak tentang mereka dan menyebarkan berita mereka di kalangan manusia. Ini merupakan kesalahan terbesar karena apabila mengghibahi manusia biasa sudah termasuk dosa besar maka mengghibahi seorang berilmu lebih besar lagi dosanya karena mengghibahi seorang yang berilmu madharatnya tidak hanya terbatas kepada pribadi yang bersangkutan saja tetapi juga terhadap ilmu syar’i yang dibawanya.

Apabila manusia menganggap enteng kepada seorang yang berilmu atau harga dirinya jatuh dalam pandangan mereka maka perkataannyapun akan jatuh pula. Bila dia (orang yang berilmu) mengatakan kebenaran dan menuntun kepada kebenaran maka ghibah manusia kepada orang yang berilmu ini akan menjadi penghalang antara manusia dengan ilmu syar’i yang dibawanya. Dan bahaya tentang hal ini besar sekali.

Aku katakan bahwa para pemuda wajib menanggapi ikhtilaf yang terjadi diantara ulama dengan niyat yang baik dan didasari dengan sikap ijtihad dan memaafkan mereka dalam kesalahan mereka. Tidak ada halangan untuk berbicara dengan mereka dalam hal yang mereka yakini bahwa hal itu salah untuk menjelaskan kepada mereka apakah kesalahan itu datang dari mereka atau dari orang-orang yang mengatakan bahwa mereka salah ? Karena kadang-kadang manusia menganggap bahwa pendapat seorang alim itu salah kemudian setelah terjadi diskusi jelaslah baginya bahwa dia adalah benar. Manusia itu orang biasa :” Setiap anak Adam suka melakukan kesalahan dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertobat.”[4]

Adapun bergembira dengan kesalahan dan penyimpangan seorang alim untuk disebarkan di kalangan manusia sehingga terjadi perpecahan maka hal ini bukanlah jalan hidup salaf.

Demikian pula kesalahan yang terjadi di kalangan umaro. Tidak boleh kita menjadikan kesalahan mereka sebagai tangga untuk mencaci mereka dalam segala hal tanpa memandang amal-amal baik mereka, karena Allah berfirman :” Hai orang-orang yang beriman jadilah kalian saksi-saksi yang adil karena Allah dan janganlah kebencian kalian kepada suatu kaum meneybabnkan kalian tidak berbuat adil.” ( Al Maidah : 8). Artinya Kebencian terhadap suatu kaum jangan sampai menyebabkan kalian berbuat tidak adil. Adil itu wajib. Tidaklah halal bagi seseorang untuk mengambil kesalahan umaro atau ulama atau selain mereka lalu disebarkan diantara manusia sementara dia diam dari kebaikan-kebaikan mereka. Ini tidaklah adil.

Analogikanlah ini dengan dirimu. Seandainya seseorang berbuat lancang kepadamu dan menyebarkan kesalahan serta penyimpanganmu dan menyembunyikan kebaikan dan kebenaran yang ada padamu, maka engkau akan menganggap hal itu sebagai pengkhianatan dia kepadamu. Kalau engkau melihat hal itu pada dirimu maka wajib pula engkau berpandangan seperti itu pula terhadap orang lain. Sebagaimana yang telah aku isyaratkan tadi bahwa obat bagi apa yang engkau anggap salah hendaklah engkau menghubungi orang yang engkau anggap salah tersebut lalu berdiskusi maka akan jelaslah sikap setelah berdiskusi.

Betapa banyak orang yang setelah berdiskusi lalu dia rujuk dari pendapatnya kepada pendapat yang benar. Dan betapa banyak manusia setelah berdiskusi ternyata pendapatnya benar padahal tadinya kita mengura bahwa dia salah. “ Orang mukmin dengan orang mukmin itu seperti bangunan yang satu sama lain saling menguatkan.”[5]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :” Siapa yang ingin dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka hendaklah dia mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir dan hendaklah dia berbuat kepada manusia sebagaimana dia suka apabila manusia berbuat seperti itu terhadapnya.” [6] Inilah sikap adil dan istiqamah. (Bersambung)

Diterjemahkan dari Kitab Al-Ilmu oleh Syaikh Al-Utsaimin Rohimahulloh


[1] Dikeluarkan oleh Bukhary, kitab wudhu, bab menuangkan air ke atas kencing di masjid.Muslim, kitab thoharaoh, bab wajibnya membasuh air kencing.

[2] Dikeluarkan oleh Muslim, kitab masjid dan tempat-tempat shalat, bab haramnya berbicara di dalam shalat.

[3] Dikeluarkan oleh Muslim, kitab pakaian, bab haramnya cincin emas bagi laki-laki.

[4] Dikeluarkan oleh Imam Ahmad juz 3 hal 198. Tirmidzi, kitab sifat hari kiamat, juz 4 hal 569 nomor 2499. Ibnu Majah , kitab Zuhud, bab keterangan tobat. Ad Darimi, kitab riqoq, bab tobat. Al Baghowy dalam syarah as sunnah juz 5 hal 92. Abu Na’im dalam Al Hilyah juz 6 hal 332. Hakim dalam Mustadrak juz 4 hal 273 Ai Ajuly dalam Kasyful Khufa juz 2 hal 120. Berkata Hakim :” Hadis sahih sanadnya tapi keduanya tidak mengeluarkannya. Mustadrak juz 4 hal 273. Kata Al ‘Ajuly sanadnya kuat. Juz 2 hal 120.

[5] Diriwaytkan oleh Bukhori, kitab masjid, bab menganyam jari-jari di masjid dan di tempat lain. Muslim, kitab kebaikan dan silaturrahmi, bab saling menyayangi, mengasihi , dan membantu dengan sesama mukmin.

[6] Takhrij hadis ini telah diterangkan pada halaman yang lalu.


http://ustadz.abuhaidar.web.id/2009/05/25/adab-adab-yang-harus-dipenuhi-oleh-pencari-ilmu-3/

Adab-Adab Yang Harus Dipenuhi Oleh Pencari Ilmu (2)

Kelima : Mengamalkan ilmu.

Seorang penuntut ilmu harus mengamalkan ilmunya baik dalam masalah aqidah, ibadah, akhlak, adab, dan muamalah, karena amala adalah buah dari ilmu dan kesimpulan dari ilmu. Pembawa ilmu seperti orang yang membawa senjata,bisa bermanfaat baginya atau bisa juga mencelakakannya, oleh karena itu diterangkan bahwa Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda :” Quran itu hujjah bagimu atau dakwaan bagimu.”[1] Akan menjadi hujjah bila kau amalkan dan akan menjadi dakwaan bila tidak kau amalkan. Demikian juga mengamalkan apa-apa yang sahih dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam dengan cara membenarkan semua kabar darinya dan melaksanakan hukum-hukum. Jika datang berita dari Allah dan rasul-Nya Shalallahu ‘Alaihi wa Salam maka benarkanlah dan terimalah serta tunduklah dan jangan kau katakan :” Mengapa ? Bagaimana ?” Karena sikap itu adalah bukanlah sikap mukminin. Allah berfirman :” Dan tidaklah pantas bagi seorang mukmin baik laki-laki maupun wanita, apabila Allah telah menetapkan sesuatu urusan akan lalu ada pilihan lain bagi mereka dari urusan mereka. Dan barang siapa yang maksiyat kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat dengan sejauh-jauhnya.”(Al Ahzab : 36).

Para sahabat ketika Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam berbicara kepada mereka dengan sesuatu yang kadang-kadang asing dan jauh dari akal mereka mereka langsung menerima hal itu dan tidak mengatakan :” Kenapa ? bagaimana ?” Berbeda dengan sikap orang zaman kiwari dari ummat ini. Kita dapati sebagian mereka apabila disampaikan kepadanya sebuah hadis dari Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam akalnya merasa keheranan tentang hal itu dan kita temukan dia memperlakukan ucapan Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam yang dia renungkan isinya akan tetapi untuk di sanggah dan bukan untuk diambil petunjuknya, oleh karena itu dia terhalang untuk memperoleh taufiq sehingga membantah apa yang datang dari rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam dan tidak menerimanya dengan pasrah.

Saya akan berikan contoh untuk hal itu. Di dalam suatu hadis dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam beliau bersabda :” Tuhan kita turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga akhir malam, lalu Dia berkata :” Siapa yang berdoa kepada-Ku pasti Aku kabulkan, siapa yang meminta kepad-Ku pasti Aku akan beri, dan siapa yang meminta ampun kepada-Ku pasti akan Aku ampuni.”[2] Hadis ini diceritakan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam dan ini merupakan hadis yang masyhur bahkan mutawatir. Tak seorangpun sahabat yang berani mengangkat lisannya untuk bertanya :” Wahai Rasulullah, bagaimanakah Allah turun ? Apakah Arsynya kosong atau tidak ?” Dan pertanyaan senada. Akan tetapi kita temukan beberapa orang berbicara seperti ini dan menanyakan Bagaimana dengan Arsy ketika Allah turun ke langit dunia ? dan omongan lainnya yang terucap. Seandainya mereka menerima hadis ini dengan pasrah dan berkata bahwa Allah Azza wajalla bersemayam di atas Arsy dan Maha Tinggi sesuai denga keharusan Zat-nya dan Dia turun sebagaimana yang dikehendaki-Nya Subhanahu wa Ta’ala maka akan tertolaklah syubhat ini dari mereka dan tidak akan meresa bingung tentang apa yang diberitakan oleh Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam tentang Rabb-Nya.

Dengan demikian kita wajib menerima apa saja yang dikabarkan oleh Allah dan Rasul-Nya tentang urusan-urusan yang ghaib dengan pasrah dan tidak membantahnya dengan apa-apa yang tersirat dalam pikiran kita karena urusan yang ghaib tak akan terjangkau oleh akal itu. Contoh tentang hal itu banyak sekali. Saya tidak ingin berbicara panjang tentang masalah ini, tapi sikap seorang mukmin terhadap hadis-hadis seperti ini hanyalah menerima dengan pasrah dengan mengatakan : Benarlah Allah dan Rasul-Nya ! Sebagaimana yang Allah kabarkan tentang masalah ini dalam firman-Nya :” Rasul telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya….”(Al Baqarah : 285).

Aqidah wajib dibangun di atas kitab dan sunnah Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam Dan manusia harus mengetahui bahwa tidak ada ruang bagi akal di dalamnya. Saya tidak mengatakan bahwa tidak ada jalan masuk bagi akal dalam masalah aqidah, saya hanya mengatakan bahwa tidak ada ruang bagi akal dalam masalah aqidah kecuali sebatas keterangan yang datang tentang kesempurnaan Allah yang dikuatkan oleh akal sekalipun akal tidak bisa mengetahui rincian dari apa yang wajib bagi Allah tentang kesempurnaan akan tetapi akal bisa mengetahui bahwa Allah mempunyai semua sifat kesempurnaan, orang yang dikaruniai hal ini wajib mengamalkan ilmunya dari sisi aqidah.

Demikian pula dari sisi ibadah -beribadah kepada Allah Azza wajalla - Sebagaimana yang diketahui oleh kebanyakan dari kita bahwa ibadah harus dibangun di atas dua dasar :

Pertama: Ikhlas karena Allah Azza wajalla.
Kedua : Mengikuti Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam.

Manusia harus membangun ibadahnya di atas ajaran yang besumber dari Allah dan Rasul-Nya tidak boleh mengada-adakan kebid’ahan dalam agama Allah yang bukan bagian dari agama ini baik dalam asal ibadahnya maupun ritualnya. Oleh karena itu kita katakan bahwa ibadah itu harus berupa sesuatu yang tetap berdasarkan ayariat baik dalam bentuknya, tempatnya, waktunya, serta sebabnya, harus ditetapkan dengan syariat dalam semua hal tadi.

Kalau seseorang menetapkan salah satu sebab untuk ibadah yang dia lakukan kepada Allah tanpa dalil, maka kita tolak hal itu dan kita katakan bahwa ibadah ini tidak akan diterima karena mesti ada landasan syariatnya bahwa ini adalah menjadi penyebab ibadah tersebut kalau tidak maka tidak akan diterima. Kalau seseorang menetapkan satu syariat berupa ibadah tapi tidak ada keterangan syariat tentang hal itu atau dia melakukan satu amalan yang ada landasan syariatnya tapi dengan cara pelaksanaan yang diada-adakan atau pada waktu yang diada-adakan maka kita katakan bahwa ibadah ini juga ditolak karena ibadah itu harus dibangun di atas landasan syariat karena hal ini termasuk tuntutan dari apa yang telah Allah ajarkan kepadamu berupa ilmu yaitu tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan cara yang disyariatkan.

Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa pada asalnya ibadah itu dilarang sehingga adanya dalil yang mensyariatkannya. Hal ini ditunjukkan oleh ayat :” Atau apakah mereka punya sekutu sekutu yang menetapkan syariat bagi mereka berupa agama yang Allah tidak memberikan izin tentang hal itu ?” (Asy Syura : 21). Juga bedasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam dalam hadis yang terdapat dalam kitab Sahih (Muslim) dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha :” Barang siapa yang mengamalkan satu amalan yang tidak ada contohnya dari kami maka amalan itu tertolak.”[3] Sekalipun engkau ikhlas dan ingin sampai kepada Allah dan Kemuliaannya akan tetapi dilakukan bukan dalam bentuk yang disyariatkan maka hal ini akan tertolak. Seandainya engkau ingin sampai kepada Allah dengan cara yang Allah tidak menetapkan jalan itu untuk sampai kepada-Nya maka hal inipun tertolak.

Dengan demikian setiap penuntut ilmu wajib menjadi seorang yang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan landasan syariat yang diketahuinya tidak menambah atau mengurangi . Tidak boleh dia mengatakan bahwa saya ingin beribadah kepada Allah dengan cara yang bisa membuat jiwa saya tenang dan hati saya sejuk serta dada saya lapang. Tidak boleh dia mengatakan hal ini sekalipun seandainya dia mendapatkan hal-hal tersebut, tapi dia harus menimbang dengan timbangan syariat, kalau amalan itu dikuatkan oleh kitab dan sunnah maka dia harus melaksanakan itu dengan sepenuh hati, kalau tidak maka akan masuk ke dalam timbangan amal buruknya. Allah berfirman :” Maka apakah orang yang dihiasi oleh syetan tentang kejelekan amalnya lalu dia menganggap baik terhadap hal itu ( Sama dengan orang yang tidak ditipu?) Sesungguhnya Allah menyesatkan orang-orang yang dikehendakinya dan memberi hidayah kepada orang yang dikehendakinya.” (QS. Fathir : 8)

Demkian juga dia harus mengamalkan ilmunya dalam hal akhlak dan muamalah. Ilmu syar’i mengajak kepada semua akhlak yang utama berupa kejujuran,menunaikan janji, dan mencintai kebaikan bagi orang mukmin, sehingga Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda : “Tidaklah beriman salah seorang diantara kalian sehingga dia mencinyai bagi saudaranya apa-apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.”[4] Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Salam bersabda :” Barang siapa yang ingin dijauhkan dari neraka dan ingin dimasukkan ke dalam surga maka hendaklah dia mati dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir dan hendaklah dia memberi kepada manusia apa yang dia suka apabila hal itu diberikan kepadanya.”[5] Banyak diantara manusia yang mempunyai ghirah dan mencintai kebaikan akan tetapi mereka tidak bergaul dengan manusia dengan akhlak mereka. Kita temukan dia bersikap kasar dan keras sekalipun pada waktu berda’wah mengajak kepada Allah Azza wajalla kita temukan dia menerapkan sikap kasar dan keras. Ini adalah menyalahi akhlak yang diperintahkan oleh Allah Azza wajalla.

Ketahuilah bahwa kebaikan akhlak merupakan hal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, dan seutama-utama manusia di hadapan Rasulullah dan yang paling dekat kedudukannya dari beliau adalah orang yang paling mulia akhlaknya, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam :” Sesungguhnya orang yang paling aku cintai diantara kalian dan yang paling dekat kedudukannya dariku pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya di antara kalian. Dan orang yang paling aku benci dan paling jauh kedudukannya dariku pada hari kiamat adalah Tsartsrun (orang yang banyak omong), mutasyaddiqun (yang cerewet), dan al mutafaihiqun.” Para sahabat bertanya :” Wahai Rasulullah, kami tahu arti tsartsarun dan mutasyaddiqun. Lalu apakah arti mutafaihikun ?” Beliau Shalallahu ‘Alaihi wa Salam menjawab :” Orang yang takabbur.”[6]

Keenam : Berda’wah (mengajak) kepada Allah.

Seorang penuntut ilmu harus menjadi orang yang selalu mengajak kepada Allah Azza wajalla dengan ilmunya. Dia mengajak orang di setiap momen yang memungkinkan, baik di mesjid, di majlis, di pasar dan di setiap tempat yang memungkinkan. Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Salam setelah Allah memberikan tugas kenabian dan tugas kerasulan kepadanya beliau tidaklah duduk-duduk di rumah tapi beliau mengajak manusia dan selalu bergerak. Saya tidak ingin seorang penuntut ilmu yang hanya menjadi kutu buku akan tetapi saya ingin diantara mereka ada yang menjadi ulama yang beramal. (Bersambung)

Diterjemahkan dari Kitab Al-Ilmu oleh Syaikh Al-Utsaimin Rohimahulloh


[1] Dikeluarkan oleh Muslim, kitab wudhu, bab keutamaan wudhu.

[2] Dikeluarkan oleh Bukhary, kitab tahajjud,bab doa dan shalat malam. Muslim,kitab shalat musafir, bab dorongan untuk berdoa dan dzikir di akhir malam.

[3] Diriwayatkan oleh Muslim , kitab Aqdhiyah,b ab menggugurkan hukum-hukum yang batil dan tertolaknya perkara-perkara baru.

[4] HR. Bukhary, kitab iman, bab mencintai bagi saudaranya apa-apa yang dia cintai untuk diri sendiri. Muslim, kitab iman,bab dalil bahwa diantara perkara iman adalah mencintai bagi saudaranya apa-apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri berupa kebaikan.

[5] Diriwayatkan oleh Muslim, kitab Iarah, bab perintah menunaikan janji dengan berbaiat kepada khalifah yang bertama kemudian yang berikutnya. Redaksi lengkapnya adalah : Dari Abdullah Bin Umar Radhiyallahu ‘Anhuma dia berkata :” Kami bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam dalam satu perjalanan, lalu kami istirahat di suatu tempat, diantara kami ada yang memperbaiki kemahnya, ada yang melepasakannya, dan ada juga yang diam di tempatnya. Tiba-tiba petugas rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam memanggil : Shalat berjamaah !” Maka kamipun berkumpul menuju Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam, lalu beliau bersabda :” Sesungguhnya tak ada seorang nabipun sebelumku kecuali wajib baginya untuk menunjukan ummatnya kepada kebaikan yang dia ketahui kepada mereka dan mengingatkan ummatnya dari kejelekkan yang dia ketahui kepada mereka. Sesungguhnya ummat kalian ini dijadikan baik awalnya tapi generasi akhirnya akan ditimpa bala dan urusan-urusan yang kalian ingkari. Dan akan datang fitnah yang sebagian diantaranya lebih detail dari yang lainnya. Dan akan datang fitnah,lalu berkata seorang mukmin : “Ini adalah kehancuranku.” Kemudian dia terlepas dari fitnah itu. Kemudian datang lagi fitnah, lalu berkata lagi seorang mukmin :” Inilah kehancuranku.” Maka barang siapa yang ingin dijauhkan dari neraka dan ingin dimasukkan ke dalam surga hendaklah kematian mendatanginya dalam keadaan dia beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hendaklah dia memberikan kepada manusia apa-apa yang dia suka apabila hal itu diberikan kepadanya. Dan barang siapa yang berbaiat kepada seorang imam lalu dia memberikan seluruh loyalitasnya dan ketaatan hatinya kepadanya maka hendaklah dia mentaatinya semampunya. Dan jika datang imam lainnya maka penggallah leher imam kedua ini.

[6] Dikeluarkan oleh Tirmidzi, kitab kebaikan dan silaturrahim, bab keterangan tentang ketinggian akhlak. Imam Ahmad dengan lafazh : Sesungguhnya orang ynag paling aku cintai adalah yang paling baik akhlaknya.” Juz 2 halaman 189. Al Baghowy dalam syarhus sunnah juz 12 halaman 366. Al Haitsamy dalam majma’uz zawaid. Dia berkata bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dan Tabrany dan Rijal Ahmad adalah rijal sahih.


http://ustadz.abuhaidar.web.id/2009/05/25/adab-adab-yang-harus-dipenuhi-oleh-pencari-ilmu-2/

Kamis, 06 Mei 2010

Selalu Ada Hikmah, Di Balik Percekcokan Rumah Tangga

Hikmah ‘Huru-Hara’ Rumah Tangga

Bagi kaum beriman, pernikahan memiliki nilai multikompleks. Nuansa iman dan pengabdian menjadi motivator tersendiri yang melahirkan berbagai target dan tujuan mulia dalam mengarungi hidup berumah tangga. Salah satu tujuan pernikahan dalam Islam yang memiliki nilai ‘greget’ paling dominan adalah mencari kebahagiaan.

Kenikmatan Di Balik Prahara

Mencari kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga tak ubahnya mencari ‘benda kesayangan’ yang lenyap di rerimbunan hutan belukar, atau menuntaskan dahaga dengan meneguk air embun yang dikumpulkan dari dedaunan di kebun yang luas membentang. Sesuatu yang harus, tapi tidak bisa diperoleh dengan bersantai-santai, tidak bisa dicapai usaha yang dilakukan setengah-setengah. Namun di situlah letak seni kebahagiaan dalam rumah tangga, bahkan dalam persepsi umum, juga kebahagiaan dalam segala hal.

Allah berfirman:

إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Sesungguhnya di balik kesulitan, pasti terdapat kemudahan.” (Al-Insyiraah : 6)

Pepatah Arab mengatakan:

وَانْصَبْ فَإِنَّ لَذِيْذَ الْعَيْشِ فِي النَّصَبِ

“Bersusahpayahlah. Kerena kenikmatan hidup itu didapatkan melalui kepayahan.”

Tentu saja, segala kesulitan itu bukanlah hal yang kita cari-cari. Tapi garis takdir dan sunnatullah telah tergurat sedemikian rupa dalam realitas kehidupan rumah tangga siapapun di dunia ini, termasuk rumah tangga Rasulullah r. Bahkan realitas itu mirip dengan fenomena dosa. Setiap muslim harus menghindari dosa. Tapi tak seorangpun yang terbebas dari dosa. Sehingga Rasulullah r menegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya:

“Masing-masing anak manusia adalah pelaku dosa. Namun sebaik-baiknya orang yang berdosa adalah yang paling banyak bertaubat.”

Bahkan dalam Miftaah Daaris Sa’aadah jilid kedua, Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa di antara hikmah terjadinya dosa adalah agar semakin jelas keberadaan Allah sebagai Yang Maha Pengampun, dan juga keberadaan Allah sebagai Yang Maha Dahsyat siksa-Nya. Melalui rangkaian dosa demi dosa, muncul berbagai keutamaan istighfar dan bertaubat. Bahkan karena ‘dosa’ Adam, umat manusia berkesempatan melakukan banyak amal kebajikan, menebarkan amar ma’ruf nahi mungkar di dunia ini. Untuk tujuan itu pula di utus para nabi. Semua itu adalah hikmah dari adanya dosa. Namun tidaklah berarti kita hidup untuk berbuat dosa. Demikian juga halnya berbagai problematika dalam hidup rumah tangga. Meski bukan hal yang dicari-cari, namun mau tidak mau harus tetap dihadapi, dan pada akhirnya, bagi seorang mukmin sejati, pasti akan menyemburatkan ribuan hikmah yang tersembunyi.

Saat bahtera rumah tangga di lepas di pantai pelaminan, suka dan duka kehidupan suami istri mulai dikecap secara bergantian. Soal kenikmatan dan kebahagiaannya, tidak perlu diungkapkan lagi. Hanya sepasang pengantin yang sedang ‘dilanda’ bulan-bulan kenikmatan yang mampu mengungkapkannya secara lebih hidup dan nyata. Namun saat hubungan interaksi mulai berlangsung, saat kepekeaan, emosi dan tingkat intelektualitas mendapat ujian menghadapi batu-batu sandungan, masing-masing harus lebih mawas diri. Kesabaran menjadi kata kunci menuju sukseks melawan dera masalah. Kesulitan-kesulitan yang mungkin muncul, yang mungkin bisa diistilahkan sebagai bumbu rumah tangga, bisa berpangkal dari banyak hal. Mungkin di antaranya sebagai berikut:

  1. Perbedaan karakter dasar.
  2. Perbedaan tingkat intelejensi, kadar intelektualitas dan wawasan berpikir.
  3. Perbedaan usia yang terlalu menyolok.
  4. Perbedaan latar belakang pengalaman, satus sosial dan lingkungan hidup.
  5. Perbedaan pemahaman dan prinsip hidup dan beragama.
  6. Kurangnya pengalaman interaksi sosial.
  7. Kesulitan ekonomi.
  8. Cacat dan kekurangan pisik ataupun mental yang baru diketahui belakangan.

Di antara beberapa faktor yang bisa menyebabkan terjadinya konflik dalam rumah tangga tersebut, ada yang bersifat prinsipil sehingga tidak bisa ditolerir, seperti perbedaan prinsip hidup dan pemahaman agama. Dalam hal ini, harus ada penyatuan melalui dialog dan pembicaraan dari hati ke hati. Bila tidak mungkin, bisa menjadi kendala yang tidak akan terselesaikan kecuali dengan perceraian. Di antara faktor lain, ada yang sah dijadikan alasan untuk ‘menggugat pernikahan’, seperti cacat tersembunyi, atau perbedaan tingkat intelejensi dan status sosial yang terlalu menyolok. Dalam istilah agama disebut perbedaan kufu. Namun bukan berarti tidak bisa diatasi sama sekali. Sementara faktor-faktor lain lebih menyerupai kendala umum yang hampir dialami oleh setiap rumah tangga.

Menghindari Badai

Segala persoalan dan kesulitan dalam rumah tangga, sekecil apapun, sering terlihat bagaikan badai laut, karena terasa mengusik kenikmatan yang sedang dicoba untuk diraih secara optimal. ‘Badai’ itu sudah pasti ada, besar atau kecil. Kita tidak dituntut untuk melawan goncangan badai, namun usahakan secerdik mungkin menghindarinya atau menghindari bahayanya bila memang ‘sang badai’ sudah sempat menerpa.

Badai rumah tangga seringkali tampil dalam wujud percekcokan antara suami istri. Kalau dibilang sebagai bumbu, mungkin lebih layak disebut bumbu yang terlalu pedas. Karena percekcokan antara dua insan yang seharusnya bersatu, yang seharusnya tenggelam dalam suasana tentram, penuh dengan kasih saying, jelas berpengaruh amat besar terhadap kebahagiaan masing-masing pihak, bahkan berpengaruh pada penyelesaian tugas masing-masing dalam rumah tangga. Banyak nasihat para ulama yang dipaparkan dalam buku-buku panduan pernikahan untuk mengatasi terjadinya kasus percekcokan pasutri tersebut. Mungkin bisa kita tarik beberapa point terpenting di antaranya:

  1. Mempelajari hukum-hukum syariat dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah . Kiat pertama ini untuk membentengi masing-masing pasutri dalam kesalahan mengambil sikap saat akan, sedang atau setelah terjadinya konflik.
  2. Meneliti kembali hak dan kewajiban masing-masing. Dengan kiat ini, diharapkan kesalahan akibat melalaikan hak dan kewajiban yang sering menimbulkan polemik bisa dihindari, setidaknya diminimalisir.
  3. Meminta nasihat orang tua dan alim ulama. Orang tua diperlukan dengan pengalamannya. Sementara para ulama dibutuhkan dengan ilmu, wawasan dan fatwanya. Menyelesaikan segala hal dengan segala keterbatasan diri sendiri adalah sikap nekat yang sering berakibat fatal.
  4. Mengoptimalkan kesabaran, bila perlu melatih diri untuk menjadi lebih penyabar dan tabah menghadapi segala masalah. Di dalam hidup berumah tangga, kesabaran lebih dibutuhkan daripada sekedar berinteraksi dengan teman dekat misalnya. Istri, bagi seorang suami, sudah menjadi belahan jiwa. Sehingga menghadapi seorang istri yang sulit memahami ungkapan dan penjelasannya saja seorang suami sudah bisa dibikin susah. Oleh sebab itu, tidak jarang seorang suami tampil demikian percaya diri dan amat meyakinkan di hadapan publik, namun menjadi amat bodoh dan tidak punya nyali di hadapan istrinya. Demikian juga seorang istri. Seringkali seorang istri mampu menahan berbagai terpaan fitnah hebat dari luar rumah, namun menjadi pusing tujuh keliling, hanya menghadapi seorang suami yang menimbulkan masalah-masalah sederhana. Di situ kesabaran diuji.
  5. Memaklumi sebagian kekurangan. Ibarat pepatah Arab yang artinya: “Siapa yang mencari kawan tanpa kekurangan, pasti akan hidup tanpa kawan.” Nabi r juga telah memperingatkan kita agar memaklumi sebagian dari kekurangan pasangan kita. Karena bila kita kecewa terhadap salah satu sifat buruknya, pasti kita akan dibuat terperangah dan senang oleh sifatnya yang lain.
  6. Bertaubat. Hanya taubat yang tulus yang dapat membuka pintu hati masing-masing pasangan suami istri untuk mengetahui kekurangannya, untuk mau memperbaiki diri dan menjalankan segala kewajibannya di hadapan Allah dan terhadap pasangannya. Allah berfirman dalam surat At-Tahriem ayat 10, yang artinya:

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaubatlah kalian dengan taubat yang tulus. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa kalian..”

Taubat yang tulus membuka pintu ampunan Allah l. Seringkali salah satu pasangan suami istri menukas cerdik,

“Kalau Allah l saja mau memberikan ampunan, kenapa kita tidak?”

Mungkin bisa dijawab dengan canda ringan,

“Ya bisa saja, tapi ada syaratnya. Taubat kan juga ada syaratnya.”

Mungkin pasangan lain bisa menimpali: “Okey. Syaratnya boleh apa aja.”

  1. Jangan mendramatisir persoalan. Bila masing-masing pihak sudah berbaikan, coba tekan permasalan hingga ke bawah telapak kaki. Jangan mendramatisir suasana, misalnya dengan nyeletuk: “Aduh, gara-gara kamu tadi, aku jadi gak bisa kerja. Kepalaku pusing!” Atau dengan nada kesal melontarkan kata-kata: “Baik, aku maafkan. Tapi rasanya ku tidak akan melupakan kejadian ini seumur hidupku!”

Semua sikap seperti itu sering berakibat buruk. Sering menunda-nunda terjadinya perbaikan antara kedua belah pihak. Untuk itu, faktor kesabaran yang ditambah dengan formula ‘mudah mengalah’, amatlah dibutuhkan.

Pada akhirnya, kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan yang muncul melalui penempaan, gemblengan dan cobaan. Justru di situlah letak dari ‘seni hidup’ di dunia ini. Sementara bagi seorang mukmin, kebahagiaan di dunia hanya merupakan garis kodrat yang harus dilaluinya melalui berbagai upaya memaksimalkan penghambaan dirinya terhadap Allah, sehingga akan melahirkan kebahagiaan ‘super sejati’ di akhirat nanti, yang tidak lain, bagi seorang mukmin, adalah pintu keluar dari penjara dunia…..


http://abuumar.com/keluarga/selalu-ada-hikmah-di-balik-percekcokan-rumah-tangga/

Adopsi Anak atau Poligami Saja ?

Apa yang paling dinantikan seorang pelajar yang giat belajar di sekolah? Lulus dengan predikat terbaik. Meski terkadang banyak orang tak tahu cara merumuskan keinginannya itu, dan cara menggapainya di alam nyata. Tapi setiap murid, ingin menjadi yang terbaik. Apa pula yang diharapkan oleh pasutri kala pertama kali menjalani hidup berumah tangga? Tentu saja kehadiran anak sebagai realisasi dari ‘cinta kasih’ putih yang mereka jalin selama ini.

Tapi, betapa tidak sedikit orang yang berharap, dan kenyataan berwujud di luar harapannya. Bertahun-tahun menikah, tak juga dikaruniai anak. Bagaimana Solusinya?

MENANTl SANG BUAH HATI

..dan tunggulah, sesungguhnya mereka (juga) menunggu.. .” (As-Sajdah : 30)

Kita, tak sedikit pun bisa beringsut dari ketentuan takdir. Tapi kita bukanlah Sang Pemilik takdir. Kita adalah bagian dari takdir itu sendiri. Maka tugas kita bukanlah menyoal takdir, tapi bagian kita adalah berbuat yang terbaik, sesuai yang diperintahkan Yang Maha Memiliki segala takdir.

Tiada sesuatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah..” (Al-Hadid : 22)

Catatan pena takdir sudah mengering, sehingga selamanya kita memang dalam episode demi episode penantian belaka. Kita tahu, bahwa maknanya bukan berarti kita harus duduk berpangku tangan. Karena takdir tidak pernah perduli, kita bekerja atau tidak bekerja. Sementara kita sendiri sadar, kalau ‘nasi’ tidak disuapkan ke mulut, kita tidak akan kenyang. Oleh sebab itu, yang harus kita pikirkan adalah apa yang harus saya lakukan. Rasulullah bersabda:

Lakukanlah apa yang kalian inginkan. Masing-masing orang akan dimudahkan menuju takdir yang telah ditetapkan baginya.”1

Usaha untuk memiliki anak sudah harus dimulai dari saat memilih pasangan.

تزوجوا الودود الولود فإني مكاثر بكم الأمم

Nikahilah wanita yang subur dan sayang anak. Sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya (umatku ) di hari kiamat.”2

Menikah sekian lama, tapi belum dikarunia anak. Sebabnya bisa bermacam-macam. Sebagiannya dapat kita cerna dan sebagian lagi membisu dalam misteri. Itulah yang menyebabkan sebagian kita terpaku tanpa mampu mengambil sikap. Bagaimana tidak, sedang banyak dokter angkat tangan untuk memberi komentar sebab-sebab ‘kemandulan’ itu. Suami ataupun istri, diyakini sama-sama sofiat, sama-sama subur. Tapi tidak di setiap tanah yang subur, bisa tumbuh banyak tanaman. Tidak setiap orang yang sehat otomatis harus kuat. Takdir sering bermain di lingkaran realitas yang sulit dicerna. Hanya Allah yang Maha Memahami segalanya.

Bila sudah demikian, muncullah satu tahapan baru dari makna ketawakalan yang kita pahami.

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

“Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindumg kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal “ ( At-Taubah :51)

BILA SANG PUCUK DICINTA TAK ULAM TIBA

Saat seseorang belum diberi kepercayaan oleh Allah untuk menjadi seorang ibu atau seorang bapak, tidak selamanya dianggap sebagai sesuatu yang tidak mengenakkan. Seperti yang banyak terjadi di belahan dunia barat (yang notabene mayoritas kafir). Sepasang suami istri yang sudah sekian tahun belum dikarunia anak, tetapi, jangankan merasa sedih, mereka justru menganggap biasa-biasa saja, bahkan tidak pernah terbetik keinginan untuk memiliki momongan. Dalam kasus ini persoalannya menjadi unik. Ketidakperdulian mereka terhadap pentingnya momongan, menjadi sebuah masalah tersendiri. Latar belakangnya mungkin bisa bermacam-macam : karena sudah terbiasa mengurus kemenakan, karena mengalami trauma melihat banyak anak-anak saudara mereka atau anak-anak tetangga mereka yang bandel tidak karu-karuan. Karena trauma melihat orang yang kematian anaknya, atau bisa juga karena memang tidak memiliki rasa kasih sayang terhadap anak-anak kecil. Kepada mereka yang mengalami berbagai hal tersebut. Kami nasihatkan:

“Seorang mukmin itu selalu mengasihi dan dikasihi. Tidak ada kebaikan pada diri orang yang tidak mengasihi dan tidak dikasihi”

Jadi belum dikarunia anak lalu bersedih dan bersusah hati, pada level tertentu adalah kewajaran belaka. Asalkan perasaan itu tidak boleh dilarut-larutkan sedemikian lama, sehingga membentuk penyesalan terhadap takdir.

“Sikap seorang mukmin sungguh Ajaib ! Karena segala kondisi menjadi baik baginya. Hal itu hanya berlaku, bagi seorang mukmin saja. Apabila ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, itu menjadi kebaikan baginya. Dan apabila ia tertimpa musibah, ia tetap tabah, maka itu pun menjadi kebaikan baginya.”

Ketika islam memerintahkan seorang lelaki memilih istri yang ’subur’, terdapat indikasi kental bahwa salah satu tujuan menikah yang paling greget, paling esensial dan paling menyatu dengan hasrat pasutri adalah memiliki keturunan.

Hasilnya, jadilah menunggu kelahiran bayi sebagai aktivitas tambahan yang cukup banyak menyita waktu, pikiran dan perasaan masing-masing pasutri, terutama si calon ibu.

Namun, ketika penantian berlanjut seolah tanpa kepastian, tanda-tanda ‘damai’ juga nyaris tidak terlihat, hasil diagnosa selalu negatif, gemuruh perawan yang campur aduk mulai mengguncang hati suami maupun istri. Apalagi bila kondisi itu berlangsung hingga bertahun-tahun, status ‘calon ibu’ dan ‘calon bapak seolah olah menjadi beban yang sangat berat dipikul. Tak ubahnya seperti calon walikota yang gagal dilantik. Banyak tanda tanya bermunculan di otak siapa yang mandul? Kurang apa saya? Berapa lama lagi saya harus menunggu? Cari istri kedua? Minta cerai ? Ragam pertanyaan, yang dibalut warna-warni perasaan, menggelayut terlalu berat di benak masing-masing suami istri.

PILIH ANTARA DUA : ADOPSI ANAK ATAU POLIGAMI

Bila Anda berada dalam posisi tersebut, manakah di antara keduanya yang Anda pilih? Tentu sulit dijawab dengan satu dua kata singkat Karena persoalannya melibatkan banyak hal, banyak orang, dan beragam pertimbangan.

Mengadopsi anak mungkin dianggap sebagai cara paling praktis dan minim resiko. Tapi, sebenarnya enggak juga. Ada berbagai hal yang berdasarkan pengalaman banyak orang, kerap menjadi persoalan-persoalan besar di masa mendatang, akibat keputusan mengadopsi anak.

Pertama, bila kemudian Allah menakdirkan mereka memiliki anak kandung, Terjadilah perang merebut kasih dari orang tua. Biasanya, yang menjadi pecundang si anak angkat.

Kedua, bila anak yang diadopsi beranjak dewasa, ia tetaplah orang yang tidak memiliki hubungan kemahraman dengan ayah dan ibu angkatnya. Bila ia pria, akan sulit melanjutkan hubungan secara normal dengan ibu angkatnya. Demikian juga bila ia wanita, dengan bapak angkatnya. Ingin berakrab-akraban layaknya anak dan orangtua, mereka bukanlah mahram, tentu ada batas-batas penyekat. Ingin membatasi sikap, merasa bahwa keduanya adalah orangtuanya juga, meski hanya orangtua angkat.

Ketiga, bila terjadi kecendrungan hati antara anak angkat dengan anak kandung, atau anak angkat dengan bapak atau ibu angkatnya.

Keempat, yang juga sering terjadi, perebutan harta warisan. Anak angkat sering menganggap bahwa ia memiliki hak atas harta yang diwariskan kedua orangtuanya. Padahal, dalam hukum faraaidh tidak ada. Sementara bila si anak angkat diberi jatah sebagai wasiat (yang berarti di luar hak faraaid dasar), yang jumlahnya maksimal boleh mencapai 1/3 harta, kerap kali anak-anak kandung tidak bisa menerimanya. Padahal, wasiat itu sah berdasarkan hukum Islam, asal tidak lebih dari 1/3 total harta.

Dan, masih banyak resiko lainnya. Semua persoalan itu memang bisa saja diatasi, tetapi harus tetap diperhitungkan sebagai resikonya.

Pilihan kedua, juga tidak lebih simpel. Proses menuju sebuah poligami, di tengah masyarakat yang masih menganggapnya sebagai hal yang tabu seperti di negeri kita ini, bukanlah hal yang sederhana. Benar, bahwa poligami dibenarkan keberadaannya dalam lslam. Tapi, ada dua hal yang tidak boleh diabaikan:

Pertama, poligami harus dilaksanakan di atas asas keadilan. Setiap muslim yang merasa perlu atau harus berpoligami, juga harus menyita-nyitakan diri secara tulus menjadi suami yang adil. Bila hasrat dalam diri sangat kecil atau bahkan nyaris tidak diperdulikan, poligami sebaiknya diurungkan. Kecuali, bila secara hukum sudah menjadi wajib karena tuntutan maslahat. Saat itu, seseorang harus mampu berlaku adil, bila tidak, ia akan terjebak dalam kemungkaran besar.

Kedua, proses berpoligami harus dilaksanakan secara santun, dengan pertimbangan berbagai maslahat dan sosialisasi dan pengomunikasian yang optimal. Tujuannya, agar tidak terjadi letupan-letupan bising yang akan mengotori atmosfir kehidupan berumah tangga.

Selain itu, bila poligami yang akan Anda pilih untuk berharap memiliki anak, Anda juga harus yakin bahwa pihak yang mandul adalah pasangan Anda, bukan Anda sendiri. Karena bila itu belum jelas, akan menjadi spekulasi yang agak bodoh, bila tujuannya adalah memiliki anak. Berbeda, bila tujuannya lebih pada pemenuhan kebutuhan seks Anda yang berlimpah. Selain itu, Anda juga harus memilih pasangan yang diyakini subur. Karena bila tidak, kejadiannya akan sama dengan pernikahan pertama Anda. Masalah sesungguhnya tidak juga akan teratasi.

Bila seseorang harus memilih, maka ia harus menyisihkan waktu merenungkan, mana di antara dua pilihan itu yang paling sanggup ia lakukan sesuai koridor syariat. Bila terlalu sulit menentukan pilihan, ada the last choice, minta saja salah seorang keponakan untuk Anda didik layaknya anak Anda sendiri. Bila ia keponakan Anda sebagai suami, pilih yang perempuan. Bila ia keponakan istri Anda, pilih yang laki-laki. Tujuannya, agar bisa meminimalisir kerumitan yang terjadi bila anak itu beranjak dewasa. Bila secara kebetulan anak tersebut yatim, akan lebih baik lagi. Karena di samping mengadopsi anak, Anda juga bisa mengharap pahala menyantuni anak yatim. Jadi, pilih yang mana? Up to you all.

1 Diriwayatkan oleh Abu Dawud IV : 222, oleh At-Tirmidzi IV: 445.

2 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab An-Nikah, bab: Larangan Menikahi wanita yang tidak dapat beranak, hadits No. 2050. Diriwayatkan juga oleh An-Nasa’i dalam kitab An-Nikah, bab: Larangan menikahi wanita mandul, hadits No. 3227, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban No. 228

3 Diriwayatkan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaa-id VIII: 87, X : 272, 274. Lihat juga Fathul Qadier IV : 128.

4 Diriwayatkan oleh Muslim No. 2999


http://abuumar.com/keluarga/adopsi-anak-atau-poligami-saja/