Mutiara Salaf

"Wahai manusia Aku hanyalah orang yang mengikuti sunnah dan bukan pembuat bid'ah. Jika Aku berbuat baik maka ikutilah dan jika Aku berbuat buruk maka ingatkanlah" [Abu Bakar Ash-Shidiq]

Blog ini dibuat terutama sebagai catatan/arsip bagi ana sehingga mudah mengakses [karena telah dikategorikan] artikel para ustadz ahlu sunnah yang materinya terpencar-pencar di masing-masing situs yang diasuh langsung oleh mereka. Namun alangkah baiknya jika ana tidak menyimpannya sendiri di dalam hard disk melainkan di sebuah blog yang diharapkan dapat bermanfaat bagi orang lain entah dia itu muslim atau kafir, ahlu sunnah atau ahli bid'ah, orang yang sudah "ngaji" atau yang masih awam.

Selasa, 06 April 2010

Tentang Makan dan Minum Sambil Berdiri

Masalah makan dan minum sambil berdiri termasuk perkara fiqh yang banyak sekali perbedaan pendapat, diringkas menjadi tiga pendapat :

1. Tarjih, yakni hadits-hadits yang membolehkan lebih kuat dari yang melarang

2. Nasakh, yakni hadits-hadits yang membolehkan menasakh (menghapus) hadits-hadits yang melarang

3. Jama', ini pendapat mayoritas ulama, yakni hadits-hadits yang melarang menunjukkan makruh tanzih, atau irsyad atau saat tidak ada 'udzur artinya makan dan minum sambil berdiri boleh dilakukan tapi lebih utama ditinggalkan, atau lebih baik ditinggalkan, atau boleh dilakukan jika ada 'udzur seperti tidak adanya tempat duduk, tempat penuh sesak dan seterusnya.

Untuk pembahasan haditsnya saya tulis satu per satu mulai dari hadits-hadits yang disebutkan :

> Dari Anas dan Qatadah ra, dari Nabi SAW:
> Sesungguhnya beliau melarang seseorang minum sambil
> berdiri, Qotadah ra berkata:"Bagaimana dengan makan?"
> beliau menjawab: "Itu kebih buruk lagi". (HR. Muslim> dan Tirmidzi)

Sebenarnya hadits itu dari Qotadah (tabi'in, bukan sahabat) dari Anas dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau melarang minumnya seseorang sambil berdiri, Qotadah berkata "maka kami bertanya, "bagaimana dengan makan?"" maka beliau (Anas) berkata itu lebih buruk atau lebih kotor". (HR Muslim). Sedangkan riwayat at-Tirmidzi semakna dari jalur Qotadah juga dengan redaksi " ... bahwa beliau melarang ...berdiri, kemudian dikatakan "Bagaimana dengan makan?", beliau (Anas) berkata "Itu lebih parah". (HR Tirmidzi beliau berkata "ini hadits hasan shahih".Hadits dengan lafadz tersebut dishahihkan para 'Ulama hadits termasuk al-Albani.

> Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda:
> "Jangan kalian minum sambil berdiri ! Apabila kalian
> lupa, maka hendaknya ia muntahkan !" (HR. Muslim)

Redaksi "Janganlah sekali-sekali salah seorang dari kalian minum sambil berdiri, barangsiapa lupa hendaklah dia memuntahkannya!"(HR Muslim)

Hadits ini walaupun diriwayatkan Muslim khusus untuk jalur dan lafadz ini, dikatakan munkar oleh al-Albani(silsilah al-ahadits adh-dha'ifah 2/427 (maktabahsyamilah)) karena ada rawi yang bernama 'Umar bin Hamzah dilemahkan para Ulama seperti Imam Ahmad (beliau mengatakan hadits-haditsnya munkar),an-Nasa'i, Yahya bin Ma'in, juga adz-Dzahabi dan Ibnu Hajar. Mungkin Imam Muslim menjadikannya sebagai penguat hadits-hadits semakna sebelumnya dalam Bab Makruhnya minum sambil berdiri, karena 'Umar bin Hamzah termasuk yang ditulis haditsnya untuk i'tibar (penguat,..dst),ini bukan berarti mengatakan hadits riwayat Muslim ada yang lemah karena hadits-hadits muslim yang sebagai penguat memang beberapa sanadnya bermasalah untuk pokok (hujjah) tetapi boleh untuk penguat, sehingga hadits Muslim tentang larangan minum sambil berdiri jelas-jelas sahih tetapi ada beberapa lafadz yang dipertanyakan seperti perintah untuk memuntahkan, menjadi pertanyaan karena hadits dengan lafadz tersebut tidak sahih akan tetapi sebagian ulama mengatakan mustahab (disukai) memuntahkannya dengan dalil yang lain misalnya:

"Kalau orang yang minum sambil berdiri itu tahu apa yang ada di dalam perutnya dia musti sudah memuntahkannya"

dikeluarkan Ahmad dari Abu Hurairah, al-Albani mengatakan sanadnya shahih, al-Haitsami mengatakan rijalnya shahih (lihat silsilah al-ahadits ash-shahihah 1/175(maktabah syamilah))

Sedang hadits-hadits yang membolehkan misalnya :

Dari an-Nazzal beliau berkata: 'Ali radhiallahu 'anhu datang di pintu ar-rahbah (tempat yang luas) maka beliau minum sambil berdiri dan mengatakan : sesungguhnya orang-orang membenci minum sambil berdiri dan sesungguhnya aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan sebagaimana kalian melihatku melakukannya (minum sambil berdiri). (HR al-Bukhari dalam bab Minum sambil berdiri (17/331) (maktabahsyamilah))

Dari Ibnu 'Abbas beliau berkata : Nabi shallallahu 'alaihi wa sallamminum air zamzam sambil berdiri. (HR HR al-Bukhari dalam bab Minum sambil berdiri (17/333) (maktabah syamilah))
Dari Ibnu 'Umar beliau berkata : Kami makan pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sambil berjalan, kami minum sambil berdiri. (HR at-Tirmidzi dan beliau berkata ini hadits shahih gharib(7/90)(maktabah syamilah)), Al-Albani menshahihkannya dalam Shahih wa Dha'if at-Tirmidzi (4/381)(maktabahsyamilah)dan hadits-hadits yang semakna.

Bolehnya makan dan minum sambil berdiri diriwayatkan darisahabat 'Umar,'Ali,'Aisyah dan lainnya.

Silakan direnungkan dan dipilih yang paling kuat sesuai kapasitas kitamasing-masing

Allahu a'lam

http://noorakhmad.blogspot.com/2008/12/tentang-makan-dan-minum-sambil-berdiri.html

Silaturrahim

Silaturrahmiatau yang lebih tepatnya shilaturrahim adalah istilah yang sudah biasa kita dengar untuk menggambarkan hubungan yang baik antar manusia apakah itu dalam lingkup tertentu seperti keluarga, kampung, organisasi atau sampai pada tingkatan yang besar seperti bangsa dan negara maupun antar negara.

Sebagai seorang muslim yang baik yang tentunya selalu melandasi seluruh sendi kehidupannya berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah harus memahami istilah shilaturrahim berdasarkan pengertian al-Qur’an dan as-Sunnah. Tulisan ini menelaah pengertian shilaturrahmi yang diperintahkan Allah subhananu wa ta’aala di dalam Islam berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Istilah shilaturrahim untuk selanjutnya biasa kita sebut silaturrahim secara bahasa terdiri dari dua kata yaitu “ash-shilatu” yang bermakna menyambung atau tidak meninggalkan dan “ar-rahimu” yang bermakna rahim seorang ibu atau bermakna kerabat (keluarga) dan sebab-sebab kekerabatan. Shilatu ar-rahimi (shilaturrahimi) bermakna menyambung kekerabatan. Kekerabatan di sini bisa karena keturunan atau nasab seperti ayah, ibu, saudara kandung dan lainnya bisa juga karena pernikahan seperti hubungan dengan mertua dan saudara-saudaranya serta ipar. Sehingga secara bahasa silaturrahim adalah menjaga hubungan kerabat atau keluarga dan bukan dengan orang lain yang tidak ada hubungan kerabat. Sedangkan hubungan dengan orang lain yang bukan kerabat diatur sendiri dalam Islam dan tidaklah sama dengan silaturrahim baik secara hukum maupun pahala. Hubungan-hubungan selain shilaturrahim itu bisa berupa hubungan akidah (ukhuwah islamiyyah) atau hubungan tetangga, profesi dan sebagainya yang diatur secara lengkap di dalam Islam. Kemudian perintah silaturrahim di dalam Islam terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.


يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا


Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS an-Nisaa:1)

Makna وَالأَرْحَامَ adalah: takutlah dengan rahim-rahim (kekerabatan) untuk jangan engkau putuskan, ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas, adh-Dhahak, Mujahid, ‘Ikrimah dan lainnya (Lihat tafsir ath-Thabari, Ibnu Katsir dan al-Baghawi).

وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللّهُ بِهِ أَن يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الحِسَابِ


dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. (QS: ar-Ra’du:21)

Makna “dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan” adalah hubungan silaturrahim, ini adalah pendapat mayoritas ahli tafsir (lihat tafsir ath-Thabari, Ibnu Katsir dan al-Baghawi).

Masih banyak ayat-ayat yang semakna dengan ayat-ayat tersebut.

Sedangkan larangan untuk memutusnya adalah :


فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ



Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? (QS Muhammad:22)

Ibnu Katsir berkata: “ Dan ini adalah larangan secara umum dari berbuat kerusakan di muka bumi dan secara khusus larangan dari memutus tali silaturrahim. Sebaliknya Allah memerintahkan untuk berbuat baik di muka bumi dan menyambung tali silaturrahim yaitu berbuat baik kepada kerabat dengan ucapan, perbuatan dan harta.”

Sedangkan hadits-hadits yang shahih berkaitan dengan silaturrahim ini banyak sekali di antaranya:


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ قَامَتْ الرَّحِمُ فَقَالَتْ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ مِنْ الْقَطِيعَةِ قَالَ نَعَمْ أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى قَالَ فَذَاكِ لَكِ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمْ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى
قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا


dari Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta'ala menciptakan makhluk sehingga setelah selesai menciptakan mereka, maka rahim berdiri dan berkata: Ini adalah kedudukan yang tepat bagi orang yang berlindung dari memutuskan hubungan (silaturrahim), Allah Ta'ala berfirman: "Benar, bukankah engkau ridha jika Aku menyambung orang yang menyambungmu dan Aku memutus orang yang memutuskanmu. Dia berkata: "Ya, Allah Ta'ala berfirman: "Itulah permohonanmu yang Aku kabulkan." Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bacalah jika kalian mau firman Allah Ta'ala (artinya): "Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka. Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quraan ataukah hati mereka terkunci?" (QS Muhammad: 22-24) (HR Muslim No. 4634)

Makna rahim adalah kekerabatan, masalah ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Perbedaan pendapat adalah tentang definisi kerabat, pendapat yang dikuatkan an-Nawawi adalah yang terdapat hubungan waris. Sedangkan orang pertama yang paling wajib untuk kita berbuat baik kepadanya adalah ibu, kemudan bapak, baru kemudian yang dibawahnya seperti saudara, kakek, paman, bibi dan seterusnya sesuai tingkat jauh dekat kekerabatan. Para ulama juga tidak berbeda pendapat tentang wajibnya silaturrahim dan memutusnya adalah haram bahkan termasuk dosa besar. Tentang teknis dan penjelasan yang lebih panjang tentang silaturrahmi, yang tidak mungkin ditulis dalam satu dua lembar kertas, para ulama telah menulis dan mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits shahih dalam buku-buku mereka di antaranya adalah Riyadhu ash-Shalihin karya al-Imam an-Nawawi dalam bab “Birr al-Walidain wa Shilatu al-Arham” yang artinya “Berbakti pada Orang Tua dan Silaturrahim”.

Tulisan di atas menjelaskan kembali tentang makna silaturrahmi yang telah terjadi salah kaprah sehingga banyak di antara kita yang menyambung hubungan dengan orang lain yang bukan kerabat kita akan tetapi lupa menjaga dan merawat hubungan dengan orang-orang yang seharusnya lebih layak kita perhatikan yakni kerabat-kerabat kita. Hal ini tidak berarti kita tidak menjaga hubungan dengan orang lain. Masalah ini telah dijelaskan oleh Allah Ta’ala :

وَاعْبُدُواْ اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh , dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (QS an-Nisaa’:36)

Makna teman sejawat menurut para ahli tafsir bisa berarti istri, teman senasib dan sepenanggungan dalam perjalanan, sahabat dekat yang shalih, sahabat yang kita mengharap manfaatnya. Teman senasib di universitas saat kita belajar di luar negeri masuk kepada kriteria teman sejawat dari sisi kita sama-sama di negeri asing, sama-sama pelajar, dan di antara kita ada yang bersahabat secara dekat, ada yang bisa saling memberi manfaat sesama kita insya Allah. Sedangkan hubungan yang lain adalah kita sama-sama muslim di mana sesama muslim dan mu’min adalah bersaudara (QS al-Hujurat:10).

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا وَلَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ

Rasulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ”Janganlah kalian saling membenci, janganlah saling dengki, janganlah saling membelakangi dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara dan tidaklah halal seorang muslim membiarkan saudaranya lebih dari tiga hari”. (HR al-Bukhari No. 5605)

Hadits yang memerintahkan kita bersaudara dan saling menjaga hak-hak persaudaraan sangat banyak. Wajib bagi kita untuk melaksanakan hak-hak persaudaraan sesama muslim akan tetapi tingkat kewajibannya tidak lebih tinggi dari silaturrahim yang sangat ditekankan dalam Islam. Hak-hak persaudaraan ini dibahas para ulama dalam bab tersendiri.


http://noorakhmad.blogspot.com/2008/12/silaturrahim.html
Allahu a’lamu bi ash-shawab.

Hikmah dan Syari’ah Ibadah Qurban

Ibadah qurban adalah ibadah menyembelih binatang qurban yang dilakukan pada hari raya qurban atau ‘Ied al-Adha. ‘Ied al-Adha adalah salah satu dari dua hari raya yang disyari’atkan Allah Ta’ala kepada seluruh muslimin di seluruh dunia. Hari raya yang lain yang disyari’atkan adalah ‘Ied al-Fithri. Hal ini ditegaskan oleh Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu



قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ



bahwa Rasulullah ‘alaihi ash-shalatu wa as-salam datang, sedangkan penduduk Madinah di masa jahiliyyah memiliki dua hari raya yang mereka bersuka ria padanya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apakah dua hari yang kalian rayakan itu?”, mereka menjawab:”Kami bersuka ria pada hari-hari tersebut pada masa jahiliyyah”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:” Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari raya yang lebih baik dari keduanya: hari raya al-Adha dan hari raya al-Fithri.” (HR Abu Dawud, an-Nasa’i, Ahmad, al-Hakim, al-Baghawi dengan lafadz Abu Dawud, hadits dishahihkan al-Albani, al-Baghawi, al-Hakim dan disepakati adz-Dzahabi)

Istilah “qurban” secara bahasa bermakna apa yang dengannya dia mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Sedangkan “adha” bentuk jama’ (plural) dari “adhaah” yang semakna dengan “udhiyah” yang berarti kambing sembelihan pada ‘Ied al-Adha (Mukhtar ash-Shihah), dari makna bahasa ini maka menyembelih binatang pada ‘Ied al-Adha adalah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala semata-mata. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:


لَن يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ



“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS al-Hajj:37)

Ibnu Katsir berkata: ”Sesungguhnya Allah mensyari’atkan penyembelihan binatang-bingatang qurban supaya kamu ingat kepada-Nya ketika menyembelih, karena sesungguhnya Dia Maha Menciptakan dan Maha Memberi rizqi. Daging dan darahnya tidak akan sampai kepada-Nya sedikitpun karena Dia Maha Kaya dari semua makhluq-Nya.”
Beliau juga berkata: ”Sesungguhnya mereka pada masa Jahiliyyah apabila menyembelih binatang-binatang qurban untuk sesembahan-sesembahan mereka, mereka meletakkan dagingnya pada sesembahan-sesembahan itu dan memercikkan darahnya pada sesembahan-sesembahan itu. Maka Allah menurunkan ayat tersebut.” (Tafsir Ibnu Katsir dengan saduran)

Ibadah qurban kita semata-mata karena ketaqwaan kita dalam rangka mendekatkan diri kita kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala tidaklah memerlukan daging dan darahnya karena Allah Maha Kaya dari seluruh makhluq-Nya.

Dalam hal ini terdapat contoh bagi kita semua pada diri Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il ’alaihima as-salam


فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ -102
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ -103
وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ -104
قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ -105
إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ -106
وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ -107



Maka tatkala anak (Isma’il) itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ”Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: ”Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan Kami panggillah dia: ”Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (QS ash-Shaffat:102-107)

Di dalam kisah tersebut jelas sekali bagaimana ketaqwaan kedua Nabi Allah yaitu Ibrahim dan Isma’il ’alaihima as-salam. Keduanya berhasil lulus dalam ujian Allah Ta’ala yang nyata. Mereka berdua diberi balasan oleh Allah Ta’ala karena mereka termasuk orang-orang yang berbuat baik dengan kesabaran mereka yakni kesabaran dalam menta’ati seluruh perintah Allah Ta’ala tanpa terkecuali dan lebih mendahulukan perintah-Nya dibanding hawa nafsu dan akal fikirannya. Ujian kedua Nabi Allah Ta’ala itu sungguh jauh lebih berat dibandingkan sekedar menyisihkan sebagian rizki kita untuk membeli seekor kambing atau bertujuh membeli seekor lembu maupun unta dalam rangka melaksanakan ibadah qurban ikhlas karena Allah Ta’ala. Bagaimana mungkin kita mampu menegakkan seluruh syari’at-Nya kalau dalam hal seperti ibadah qurban ini kita masih gamang dan ragu-ragu terutama apabila kita termasuk golongan yang mampu berqurban.

Allah Ta’ala tidaklah memerlukan daging dan darah binatang qurban, maka Allah mengetuk hati kita untuk ingat dan berbagi dengan saudara-saudara kita terutama orang-orang faqir dan miskin.



لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ


supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS al-Hajj:28)

Salah satu tafsiran para ahli tafsir dan ahli fiqh tentang “hari yang telah ditentukan” adalah hari-hari “nahr” atau menyembelih yakni ‘Ied al-Adha (10 Dzulhijjah) dan tiga hari setelahnya yakni hari-hari tasyriq (11-13 Dzuhijjah). Sehingga perintah untuk memberi makan orang-orang faqir mencakup juga ibadah qurban ‘Ied al-Adha selain ibadah qurban bagi jama’ah haji atau yang biasa disebut “al-hadyu” (Tafsir Ibnu Katsir, al-Baghawi dan ath-Thabari). Hal ini juga berdasar riwayat ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu:

أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ أَنْ يَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَمَرَهُ أَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا فِي الْمَسَاكِينِ وَلَا يُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا مِنْهَا شَيْئًا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku untuk mengurusi kurban-kurbannya; membagi-bagikan daging, kulit dan pakaiannya kepada orang-orang miskin, dan aku tidak diperbolehkan memberi suatu apapun dari kurban kepada penyembelihnya. (HR al-Bukhari dan Muslim dengan lafadz Muslim)

Selain dibagikan kepada orang miskin disunnahkan kita memakan daging sembelihan serta berbagi dengan kerabat, sahabat dan tetangga berdasar QS al-Hajj:28. Hal ini akan mempererat hubungan kerabat dalam rangka menyambung silaturrahim, mempererat hubungan persahabatan dan persaudaraan khususnya sesama muslim dan juga berbuat baik kepada tetangga yang juga merupakan ajaran syari’at Islam. Tentu saja masih banyak hikmah dari ibadah qurban dan juga syari’at Allah Ta’ala karena Allah adalah al-Hakim, yakni seluruh apa yang diperintahkan-Nya pasti penuh hikmah dan kebaikan bagi umat manusia dan umat Islam khususnya akan tetapi sebagian besar manusia tidaklah mengetahui.

Ibadah qurban disyari’atkan kepada umat Islam berdasarkan al-Quran, as-Sunnah dan Ijma’.
Allah Ta’ala berfirman:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berqurbanlah . (QS al-Kautsar:2)

Makna ” وَانْحَرْ (wanhar)” adalah menyembelih binatang qurban menurut ahli tafsir dari para salaf ash-shalih seperti Ibnu ’Abbas, ’Atha, Mujahid, ’Ikrimah, Qatadah, adh-Dhahak dan al-Hasan. Pendapat ini juga dipilih dan dikuatkan oleh Ibnu Katsir dan ath-Thabari (Tafsir Ibnu Katsir dan ath-Thabari).

Sedangkan dari sunnah adalah riwayat Anas bin Malik radhiallahu ’anhu:

ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ يُسَمِّي وَيُكَبِّرُ

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menyembelih dua ekor kambing beliau membaca basmalah dan bertakbir. (HR al-Bukhari dan Muslim dengan lafadz al-Bukhari)

Ibnu Qudamah menyatakan ijma’ dalam masalah ini di kitabnya al-Mughni. al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat bahwa ibadah qurban termasuk syi’ar-syi’ar agama. Perbedaan pendapat hanya terjadi tentang hukum dari ibadah qurban. Sebagian menyatakan wajib, sebagian menyatakan sunnah muakkadah dan ini adalah pendapat mayoritas ulama sebagaimana dinyatakan al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari. Rincian hukum-hukum tentang ibadah qurban dibahas oleh para ulama dalam kitab-kitab fiqh. Allahu a’lam bi ash-shawab.

Bincang-bincang Hadits Khilafah (2)

Kemudian penulis berkata :
> Salah satu rawi Hadis di atas bernama Habib bin Salim. Menurut Imam Bukhari,
> "fihi nazhar". Inilah sebabnya imam Bukhari tidak pernah menerima hadis yang
> diriwayatkan oleh Habib bin Salim tsb. Di samping itu, dari 9 kitab utama
> (kutubut tis'ah) hanya Musnad Ahmad yang meriwayatkan hadis tsb. Sehingga
> "kelemahan" sanad hadis tsb tidak bisa ditolong.

Dalam hal ini al-Bukhari menyendiri, sebab Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad dan imam-imam yang lainnya meriwayatkan dari Habib bin Salim walaupun bukan hadits khilafah tersebut. Menyimpulkan hadits itu “lemah” hanya dengan pendapat al-Bukhari tanpa mempertimbangkan pendapat para imam yang lain adalah terlalu tergesa-gesa dan gegabah. Bukti bahwa penulis ini tidaklah faham kaidah-kaidah jarh wa ta’dil menurut para ulama hadits sebagaimana dijelaskan di atas. Apabila kaidah penulis ini diberlakukan maka banyak sekali hadits-hadits yang shahih menjadi “lemah” bahkan hadits-hadits yang di dalam al-Bukhari dan Muslim pun akan menjadi lemah mengingat banyak rawi-rawi al-Bukhari dan Muslim yang tidak lepas dari jarh. Kaidah penulis ini juga menjadikan ilmu hadits sangat sederhana yakni dengan melihat Shahih al-Bukhari saja atau dengan melihat 9 kitab utama hadits. Padahal tidak sedikit hadits-hadits yang shahih di luar 9 kitab utama tersebut sehingga banyak ulama yang menyusun kitab-kitab “zawa’id” yang merupakan tambahan dari kitab-kitab hadits yang dianggap utama.

Kemudian penulis berkata:

> Rupanya Habib bin salim itu memang cukup "bermasalah" . Dia membaca hadis
> tsb di depan khalifah 'umar bin abdul aziz utk menjustifikasi bhw
> kekhilafahan 'umar bin abdul azis merupakan khilafah 'ala
> minhajin nubuwwah. Saya menduga kuat bhw Habib mencari muka di depan
> khalifah karena sebelumnya ada sejumlah hadis yang mengatakan:
>
> "*setelah kenabian akan ada khilafah 'ala minhajin nubuwwah, lalu akan
> muncul para raja*."
>
> Hadis ini misalnya diriwayatkan oleh thabrani (dan dari penelaahan saya
> ternyata sanadnya majhul). Saya duga hadis thabrani ini muncul pada masa
> mu'awiyah atau yazid sebagai akibat pertentangan
> politik saat itu.

Beginilah akhlaq penulis yang mudah berburuk sangka sesama muslim apalagi muslim yang sudah meninggal dari kalangan tiga generasi awal umat ini yang dijamin oleh Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai generasi terbaik.

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَجِيءُ أَقْوَامٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِينَهُ وَيَمِينُهُ شَهَادَتَهُ


“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian setelah mereka kemudian setelah mereka kemudian akan datang kaum-kaum yang persaksiannya mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya” (HSR al-Bukhari No. 2458 [MS])


Habib bin Salim adalah tabi’in pertengahan. Tidak ada seorangpun ulama yang mencela sisi keadilannya baik ulama semasa beliau ataupun setelahnya. al-Bukhari mengkritik beliau hanya melihat sisi ke”dhabit” annya (tingkat hafalan dan penjagaan hadits) bukan keadilannya. Kemudian datanglah penulis ini mencela keadilan Habib bin Salim dengan menuduh Habib membuat hadits untuk mencari muka di depan ‘Umar bin Abdu al-‘Aziz. Perbuatan mencari muka dengan membuat hadits adalah perbuatan yang sangat tercela, seolah-olah Habib ini tidak takut dengan ancaman berdusta atas nama Nabi ‘alaihi ash-shalatu wa as-salam. Adalah hal yang aneh sekali kalau seandainya hadits ini dibuat oleh Habib dan tidak ada ulama-ulama hadits zaman itu dan setelahnya yang tidak memperingatkan dia dan kaum muslimin kalau Habib benar-benar membuat-buat hadits. Sudah biasa di kalangan para ulama hadits bahwa para pemalsu hadits sangat mudah dikenali dan diketahui.
Kalau penulis ini mau mencermati matan haditsnya dengan hati-hati dan penuh baik sangka dengan sesama muslim maka tidak selayaknya dia berburuk sangka dengan Habib bin Salim.
“Habib berkata : Ketika ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziz menjadi raja dan Yazid bin an-Nu’man bin Basyir adalah sahabatnya maka akau menulis surat kepadanya (Yazid) dengan hadits ini dengan menyebutkan hadits itu kepadanya, kemudian aku berkata kepadanya sesungguhnya aku berharap Amir al-Mu’minin yakni ‘Umar adalah setelah kerajaaan yang mengiggit dan kerajaan yang arogan. Kemudian kitabku ini dimasukkan kepada ‘Umar bin Abdu al-‘Aziz maka beliau bahagia dan ta’jub.”
Jelas sekali Habib bin Salim hanya berharap supaya ‘Umar bin Abdu al-‘Aziz termasuk khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Apakah salah seseorang berharap seperti itu??. Walaupun harapan Habib ini tidak mesti benar. Tetapi sama sekali tidak menjatuhkan kredibilitas dia, apalagi sampai melemahkan haditsnya atau bahkan menuduh dia membuat-buat hadits. Kemudian Yazid bin an-Nu’manlah yang menyampaikan kepada ‘Umar bin Abdu al-‘Aziz bukan Habib sendiri.
Kemudian tidak ada kelaziman bahwa Habib menyampaikan hadits ini hanya setelah ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziz menjadi raja. Dari konteksnya sangat mungkin Habib sudah jauh-jauh hari menyampaikan hadits ini sebelum ‘Umar menjadi raja. ALLAH A’lam.
Sebenarnya tidak hanya Habib saja yang menyampaikan hadits ini, bahkan tidak hanya Hudzaifah tapi dari sahabat yang lain walaupun tidak selengkap versi Habib ini, seperti (saya tidak menyampaikan lengkap sebab akan panjang sekali, silakan dirujuk sendiri kitab-kitab tersebut):
Ibnu ‘Abbas (al-Mu’jam al-Kabir ath-Thabrani No. 10975[MS]), dalam lafadz ini disebutkan an-nubuwwah wa rahmah, khilafah wa rahmah, mulkan wa rahmah dan imarah wa rahmah. al-Albani mengatakan isnadnya jayyid dalam Silsilah ash-Shahihah No. 3270.
Mu’adz bin Jabal dan Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah (Musnad ath-Thayalisi No. 222[MS])
al-Haitsami berkata : “Di dalam sanadnya ada Laits bin Abi Salim, dia tsiqah tapi mudallis, rijal-rijal yang lain tsiqaat (Majma’ az-Zawaid (5/189[MS]))
al-Albani menilai sanadnya lemah, dan matannya munkar, kecuali bagian awal yang sama dengan hadits hudzaifah (Silsilah adh-Dha’ifah No. 3055)
Memang pandangan penulis bisa dipertimbangkan karena riwayat Habib ini ada tambahan khilafah ‘alaa minhaj an-nubuwwah, akan tetapi tidaklah boleh memperkirakan dengan menuduh Habib berusaha mencari muka kepada ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziz kemudian menambah-nambah sendiri, ini buruk sangka kepada sesama muslim. Dalam masalah ini berlaku kasus ziadatu ats-tsiqaat yakni tambahan seorang yang tsiqah terhadap suatu hadits. Ziadatu ats-tsiqah diterima selama tidak berlawanan dengan hadits-hadits yang ditambahi sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab musthalah, bahkan mayoritas ahli ushul fiqh menerimanya mutlak tanpa syarat. Tambahan riwayat Habib ini tidak menyelisihi riwayat Ibnu ‘Abbas.


Lihat sikap penulis dengan mengatakan

> "Khilafah 'ala minhajin nubuwwah" di teks thabrani ini me-refer ke khulafa
> al-rasyidin, lalu "raja" me-refer ke mu'awiyah dkk. Tapi tiba-tiba muncul
> umar bin abdul azis --dari dinasti umayyah—yang baik dan adil. Apakah beliau
> termasuk "raja" yg ngawur dlm hadis tsb?
>
> Maka muncullah Habib bin Salim yg bicara di depan khalifah Umar bin Abdul
> Azis bhw hadis yg beredar selama ini tidak lengkap. Menurut versi Habib,
> setelah periode para raja, akan muncul lagi khilafah 'ala minhajin
> nubuwwah--> dan ini merefer ke umar bin abdul azis. Jadi nuansa politik
> hadis ini sangat kuat.


Tampak nyata penyamaran penulis terhadap kisah yang sebenarnya.
Masa “mulkan ‘aadhdhan” atau kerajaan yang mengigit (dengan kedzaliman) tidak berarti menghukumi semua raja adalah dzalim, tapi lafadz ini menunjukkan ghalibnya (mayoritas) adalah dzalim terhadap rakyatnya. Sehingga tidak menafikkan kalau ada raja yang adil seperti ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziz dengan masa pemerintahan yang sangat pendek di antara raja-raja yang dzalim. Di tambah dalam riwayat Ibnu ‘Abbas ada tambahan rahmah, sehingga walaupun masa raja-raja tapi masih ada rahmah di sana, mungkin salah satunya adalah ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziz. Apakah hanya karena salah faham atau tidak bisa memahami kemudian menganggap hadits yang shahih atau hasan menjadi dha’if begitu saja??

بَلْ كَذَّبُواْ بِمَا لَمْ يُحِيطُواْ بِعِلْمِهِ


“Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna “ (QS Yunus: 39)


Ketidakfahaman kita dengan ayat-ayat al-Quran tidaklah kemudian boleh kita menyimpulkan bahwa ayat-ayat al-Quran tidak benar. Begitu pula ketidakfahaman kita dengan hadits-hadits nabawi tidaklah kemudian boleh kita menyimpulkan bahwa hadits tersebut tidak benar.
Tampak nyata juga pertentangan pemikiran penulis setelah sebelumnya mengatakan hadits riwayat Thabrani ini sanadnya majhul tapi kemudian menggunakannya untuk menjatuhkah Habib bin Salim. Bagaimana boleh dengan hadits yang dia nilai sendiri majhul dia gunakan sebagai hujjah untuk menjatuhkan Habib bin Salim. Bukankah ini fikiran yang bertentangan??
Kemudian dia juga menghukumi hadits yang majhul itu sebagai hadits buatan semasa Mu’awiyyah dan Yazid, padalah hadits majhul tidak serta merta menjadi hadits palsu. Kemudian apa hujjah dia sehingga bisa mengatakan seperti itu?? Bukankan tanpa hujjah berarti mengikuti hawa nafsu??
Hadits riwayat ath-Thabrani No. 372[MS] dengan lafadz hampir sama dengan hadits Habib hanya saja tanpa tambahan khilafah ‘alaa minhaj an-nubuwwah setelah mulkan jabriyyah sebagaimana kata penulis akan tetapi di dalam sanadnya ada rawi yang tidak disebutkan namanya (mubham) sehingga majhul ‘ain yakni “ ‘an rajulin min quraisy” (dari seorang laki-laki quraisy). al-Haitsami juga mengatakan demikian ketika menilai hadits ini dalam Majma’ az-Zawaid (5/185[MS]).
Hadits majhul ini tidak bisa digunakan sebagai hujjah untuk menjatuhkan Habib, bagaimana mungkin riwayat yang lebih lemah menjatuhkan riwayat yang lebih kuat (riwayat Habib).


Penulis berkata :


> Repotnya, term khilafah 'ala minhajin nubuwwah yg dimaksud oleh Habib (yaitu
> Umar bin abdul azis) sekarang dipahami oleh ------ (dan kelompok
> sejenis) sebagai jaminan akan datangnya khilafah lagi di kemudian hari.
> Mereka pasti repot menempatkan umar bin abdul azis dalam urutan di atas
> tadi: kenabian, khilafah 'ala mihajin nubuwwah periode pertama (yaitu
> khulafa al-rasyidin) , lalu para raja, dan khilafah 'ala minhajin nubuwwah
> lagi. Kalau khilafah 'ala minhajin nubuwwah periode yg kedua baru muncul di
> akhir jaman maka umar bin abdul azis termasuk golongan para raja yang ngawur
> :-)
>


Tidaklah repot menempatkan ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Azis, karena pemahaman mulkan entah yang ‘aadhdhan ataupun jabriyyah tidak menafikan adanya raja atau pemimpin yang adil di tengah-tengah raja-raja dan pemimpin-pemimpin yang dzalim. Tidak ragu lagi bahwa ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Azis adalah pada periode mulkan (raja-raja) karena Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam bersabda :

الْخِلَافَةُ فِي أُمَّتِي ثَلَاثُونَ سَنَةً ثُمَّ مُلْكٌ بَعْدَ ذَلِكَ…


“Khilafah di dalam ummatuku adalah 30 tahun kemudian kerajaan setelah itu…”


Hadits riwayat at-Tirmidzi dan beliau berkata ini hadits hasan (Sunan at-Tirmidzi No. 2152[MS]). al-Albani menshahihkannya dalam Silsilah ash-Shahihah No. 459[MS])
Kemudian dari riwayat Ibnu ‘Abbas periode setelah khilafah itu ada mulk (kerajaan) dan imarah (pemerintahan).
Khilafah selama 30 tahun itu berakhir dengan terbunuhnya ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dan diangkatnya Hasan bin ‘Ali radhiallahu ‘anhuma yang akhirnya beliau memberikannya kepada Mu’awiyyah radhiallahu ‘anhu maka jadilah Mu’awiyah menjadi raja yang pertama. Sehingga tidak bisa tidak ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Azis dan juga semua pemerintahan setelah 30 tahun tersebut masuk periode kerajaan bukan khilafah ‘alaa minhaj an-nubuwwah. Kemudain berita yang mutawatir tentang akan datangnya al-Mahdi dan turunnya Nabi ‘Isa ‘alaihi as-salam menunjukkan bahwa khilafah ‘alaa minhaj an-nubuwwah adalah masa al-Imam al-Mahdi. Riwayat tentang al-Mahdi mencapai derajat mutawatir tanpa ada perbedaan pendapat menurut para ulama hadits sehingga tidak boleh diragukan lagi.

Penulis berkata:

> Saya kira kita memang haus bersikap kritis terhadap hadis-hadis berbau
> politik. Sayangnya sikap kritis ini yang sukar ditumbuhkan di kalangan para
> pejuang khilafah.


Apa kriteria hadis-hadis politik?? apa definisinya, jangan-jangan cara menentukannya hanya sesuai hawa nafsu saja tidak ada kaidahnya. Kemudian sikap kritis itu apa? apakah asal-asalan menolak disebut kritis?? Asal kontroversial terus dianggap kritis??
Seseorang mampu kritis dalam bidang engineering apabila dia menguasai prinsip-prinsip engineering begitu pula seseorang mampu kritis dalam ilmu hadits apabila dia menguasai prinsip-prinsip ilmu hadits. Kalau tidak, niatnya mengkritisi justru berbalik menjadi dikritisi dan nampak ketidaktahuannya dalam ilmu tersebut. ALLAH a’lam.
“Kekritisan” penulis selanjutnya sebenarnya mudah sekali dikritisi tapi memerlukan waktu dan penelaahan referensi. Kalau ada kesempatan insya ALLAH “kekritisan” beliau bisa dikritisi lagi.


Note: [MS] = Maktabah Asy-Syamilah
[MRH] = Mausu’ah Ruwaat al-Hadits
Referensi lainnya edisi cetak yang telah di pdf kan

Bincang-bincang Hadits Khilafah (1)

 
Tulisan ini berawal dari artikel yang dinisbahkan kapada seorang penulis (selanjutnya disebut sebagai penulis) tentang masalah khilafah. Saya tidak berniat membela jama’ah-jama’ah pejuang khilafah atau siapapun, tapi saya melihat ada ketidakjujuran dan kesalahan fatal pada penulis ini terutama masalah hadits tentang khilafah yang dia lemahkan tanpa kaidah yang benar. Dengan sedikit ilmu yang saya miliki saya berusaha mendudukkan permasalahan sebenarnya sesuai yang saya ketahui. Berawal dari hadits:

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنِي دَاوُدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنِي حَبِيبُ بْنُ سَالِمٍ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلًا يَكُفُّ حَدِيثَهُ فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ فَقَالَ يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأُمَرَاءِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ قَالَ حَبِيبٌ فَلَمَّا قَامَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَكَانَ يَزِيدُ بْنُ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ فِي صَحَابَتِهِ فَكَتَبْتُ إِلَيْهِ بِهَذَا الْحَدِيثِ أُذَكِّرُهُ إِيَّاهُ فَقُلْتُ لَهُ إِنِّي أَرْجُو أَنْ يَكُونَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ يَعْنِي عُمَرَ بَعْدَ الْمُلْكِ الْعَاضِّ وَالْجَبْرِيَّةِ فَأُدْخِلَ كِتَابِي عَلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ فَسُرَّ بِهِ وَأَعْجَبَهُ

Dari an-Nu’man bin Basyir, beliau berkata: “Kami duduk di dalam masjid bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (maksudnya di Masjid Nabawi) dan Basyir adalah seorang yang menjaga haditsnya. Kemudian datanglah Abu Tsa’labah al-Khusyani kemudian beliau berkata: Wahai Basyir bin Sa’ad apakah engkau hafal hadits Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang umara’ (para pemimpin/penguasa), maka Hudzaifah berkata : Saya menghafal khutbah beliau! kemudian Abu Tsa’labah duduk maka Hudzaifah berkata: Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam berkata: Ada kenabian sekarang di tengah-tengah kalian sepanjang dikehendaki ALLAH kemudian ALLAH mengangkatnya apabila Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah di atas metode kenabian sepanjang dikehendaki ALLAH kemudian ALLAH mengangkatnya apabila Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada kerajaan yang menggigit* (mulkan ‘aadhdhan) sepanjang dikehendaki ALLAH kemudian ALLAH mengangkatnya apabila Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada kerajaan yang arogan (mulkan jabriyyah) sepanjang dikehendaki ALLAH kemudian ALLAH mengangkatnya apabila Dia berkehendak untuk mengangkatnya. Kemudian akan ada khilafah di atas metode kenabian kemudian beliau diam.” Habib berkata : Ketika ‘Umar bin ‘Abdu al-‘Aziz menjadi raja dan Yazid bin an-Nu’man bin Basyir adalah sahabatnya maka akau menulis surat kepadanya (Yazid) dengan hadits ini dengan menyebutkan hadits itu kepadanya, kemudian aku berkata kepadanya sesungguhnya aku berharap Amir al-Mu’minin yakni ‘Umar adalah setelah kerajaaan yang mengiggit dan kerajaan yang arogan. Kemudian kitabku ini dimasukkan kepada ‘Umar bin Abdu al-‘Aziz maka beliau bahagia dan ta’jub.

*menggigit makanya ada kedzaliman seakan menggigit rakyatnya dengan gangguan (Gharib al-Hadits oleh Ibnu al-Jauzy (2/104[MS])) lihat juga makna ‘udhudh sebagai kedzaliman yang keji di Lisan al-‘Arab (7/188 [MS]) (al-Fath ar-Rabbani oleh as-Sa’ati (Ahmad Abdurrahman al-Banna) (23/10))

Lafadz hadits ini adalah lafadz al-Imam Ahmad dalam musnadnya. Hadits ini dikeluarkan oleh: Ahmad dalam musnadnya (No. 17680 [MS]) (14/163) al-Baihaqi dalam Dala’il an-Nubuwwah (No. 2843 [MS]) ath-Thayalisi dalam musnadnya (No. 433 [MS]) al-Bazzar dalam musnadnya (No. 2429 [MS]) semua denga sanadnya sampai Dawud bin Ibrahim al-Wasithi Rawi-rawi dari al-Imam Ahmad sampai ke an-Nu’man bin Basyir adalah:

1. Sulaiman bin Dawud ath-Thayalisi
2. Dawud bin Ibrahim al-Wasithi
3. Habib bin Salim

Abu Dawud Sulaiman bin Dawud ath-Thayalisi al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: tsiqah hafidz ghaladz fii ahaadiits (terpercaya penghafal hadits ada kesalahan dalam beberapa hadits) (Taqrib at-Tahdzib (1/250 [MS]) Beliau juga rawi al-Bukhari dalam hadits mu’allaq, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah (Tahdzib at-Tahdzib (4/160)[MS]).

al-Fallas berkata: Aku tidak melihat orang yang “ahfadz” (lebih hafal atau menjaga) hadits di kalangan ahli hadits dari Abu Dawud.

Ali bin al-Madini berkata: Aku tidak melihat orang yang “ahfadz” (lebih hafal) darinya.

Abdurrahman bin Mahdi berkata: Abu Dawud orang yang paling jujur/benar.

Dan masih banyak ta’dil (rekomendasi dan pujian) dari para imam ahli hadits dan ahli jarh wa ta’dil seperti Ahmad, al-‘Ajli, Ibnu ‘Adi, an-Nasa’i dan lainnya. Kritikan sebagian ulama adalah kadang-kadang beliau salah (ghaladz).

Menurut al-‘Ajli beliau hafal 40000 hadits. Sedangkan Ibrahim al-Jauhari mengatakan beliau salah dalam 1000 hadits. Kesalahan ini berkaitan dengan masalah sanad yakni kadang-kadang beliau me “marfu’” kan “mauquf” atau me “maushul” kan yang “mursal”. (Tahdzib at-Tahdzib (4/160)[MS])(Tahdzib al-Kamal (MRH)). Jumlah 1000 dari 40000 (2.5%) adalah wajar karena beliau menghafal dari ingatannya dan tidaklah masalah ini menurunkan kredibilitas beliau. Apalagi kesalahan beliau adalah masalah marfu’ mauquf dan maushul mursal (bukan masalah teks haditsnya) yang memang kadang-kadang terjadi kesalahan. ALLAH A’lam bi ash-shawab.

Rawi berikutnya adalah Dawud bin Ibrahim al-Wasithi ath-Thayalisi sendiri mentsiqahkan beliau dalam musnadnya (No. 433 [MS]) Ibnu Hibban memasukkan beliau dalam ats-Tsiqaat, Ibnu al-Mubarak juga meriwayatkan dari beliau (ats-Tsiqaat 6/280[MS]).

Rawi berikutnya adalah Habib bin Salim Rawi yang dipermasalahkan penulis. Abu Hatim ar-Razi mengatakan : Dia tsiqah (al-Jarh wa at-Ta’dil oleh Ibnu Abi Hatim ( 3/102 [MS]) Ibnu ‘Adi berkata: Tidak ada hadits munkar dalam teks hadits-haditsnya, akan tetapi sanad-sanadnya guncang dalam hadits-hadits yang diriwayatkan darinya. al-Aajuri berkata dari Abu Dawud : tsiqah Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah meriwayatkan darinya (Tahdzib at-Tahdzib (2/161[MS]), Tahdzib al-Kamal (5/375[MS])). Ibnu Hibban menyebutkannya dalam ats-Tsiqaat (4/139[MS]). al-Bukhari menjarhnya dengan mengatakan : “fiihi nadzar” (pada dia perlu ditinjau ulang) (Tarikh al-Kabir (2/318[MS]), lafadz ini menunjukkan jarh yang berat dari beliau (Muntaha al-Amani (1/308)).

Dalam hal ini tidak boleh kita berpegang hanya dengan jarh al-Bukhari karena Habib ditsiqahkan oleh imam-imam jarh wa ta’dil yang lain, kecuali apabila al-Bukhari menyebutkan secara rinci sebab-sebab “fiihi nadzar” nya kepada Habib. Apalagi Ibnu ‘Adi hanya menjarh dalam keguncangan sanadnya bukan masalah matan atau teks haditsnya (teks haditsnya tidak ada kemunkaran di dalamnya). Dalam riwayat ini tidak ditemukan idhtirab (keguncangan sanad) seperti yang dimaksud Ibnu ‘Adi. Walaupun ada kaidah jarh didahulukan dibanding ta’dil, akan tetapi jarh yang dimaksud harus “mufassar” yakni diperinci karena yang dijarh ditsiqahkan oleh ulama yang lain. al-Bukhari sama sekali tidak memperinci jarhnya. Kalau hanya dengan jarh saja seorang rawi tsiqah jatuh, maka tidak ada yang selamat hampir semua rawi, bahkan rawi-rawi al-Bukhari maupun Muslim seperti ‘Ikrimah, ‘Amru bin Marzuq dalam al-Bukhari, Suwaid bin Sa’id dalam Muslim dan masih banyak lagi. Akibatnya banyak nantinya hadits-hadits al-Bukhari dan Muslim yang tertolak, padahal telah ijma’ bahwa hadits-hadits al-Bukhari dan Muslim diterima oleh kaum muslimin khususnya ulamanya. Kemudian al-Bukhari juga bukanlah hujjah atas Abu Hatim ar-Razi maupun Abu Dawud. Contohnya adalah Muhammad Ibrahim at-Taimi, rawi hadits “innamaa al-a’maalu bi an-niyyaat” dalam al-Bukhari. al-Imam Ahmad menjarhnya dengan “yarwii manaakiir” yakni meriwayatkan hadits-hadits munkar. Padahal Malik, al-Bukhari dan Muslim berhujjah dengannya. Hadits tersebut (masalah niat) juga telah diterima mutlak oleh kaum muslimin baik ulama maupun orang awamnya. Masalah ini sudah dibahas oleh ulama-ulama hadits dahulu maupun sekarang.

Lihat masalah ini dalam kitab-kitab musthalah hadits: an-Nukat ‘Alaa Muqaddimah Ibni ash-Shalah oleh al-Hafidz Ibnu Hajar (3/337) Tadrib ar-Rawi oleh al-Hafidz as-Suyuthi (1/166) al-Wasith fii ‘Ulum wa Musthalah al-Hadits oleh Dr Muhamad bin Muhammad Abu Syuhbah (1/393) Fath al-Mughits oleh al-Hafidz as-Sakhawi (2/176) ‘Ulum al-Hadits li al-Albani oleh ‘Isham Musa Hadi (1/66) at-Taqyid wa al-Idhah oleh al-Hafidz al-‘Iraqi (1/117) dan lainnya. Oleh karena itu tepatlah ijtihad al-Hafidz Ibnu Hajar yang mengatakan bahwa Habib ini adalah : “Laa ba’sa bihi” yakni tidak apa-apa (Taqrib at-Tahdzib 1/151) yakni selevel dengan “shaduq” yang merupakan lafadz ta’dil, sehingga sekurang-kurangnya haditsnya hasan.

Hadits ini juga telah dishahihkan para ‘ulama hadits: al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah ( 1/4 [MS]) beliau juga menukil al-Hafidz al-‘Iraqi dalam Mahajjah al-Qarb Ilaa Mahabbah al-‘Arab (2/17): “hadits shahih”. al-Hafidz al-Haitsami mengatakan: “rijaaluhu tsiqaat” yakni rawi-rawinya terpercaya (Majma’ az-Zawa’id (5/189[MS]) Ahmad Syakir juga menyatakan shahih isnadnya dalam komentar beliau pada Musnad Ahmad (14/163).

bersambung ...

Note: [MS] = Maktabah Asy-Syamilah [MRH] = Mausu’ah Ruwaat al-Hadits Referensi lainnya edisi cetak yang telah di pdf kan


http://noorakhmad.blogspot.com/2008/12/bincang-bincang-hadits-khilafah-1.html

Ucapan 'Umar Tentang Jama'ah dan Islam

ja
Perkataan ‘Umar bin al-Khattab radhiallaahu ‘anhu yang sering dikutip oleh kawan-kawan harakah Islamiyyah : “Tidak ada Islam kecuali dengan jama’ah dan tidak ada jama’ah kecuali dengan imarah (pemerintahan/kekuasaan) dan tidak ada imarah kecuali dengan ketaatan”.
Riwayat tersebut lengkapnya adalah sebagai berikut:



أَخْبَرَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَخْبَرَنَا بَقِيَّةُ حَدَّثَنِى صَفْوَانُ بْنُ رُسْتُمَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَيْسَرَةَ عَنْ تَمِيمٍ الدَّارِىِّ قَالَ : تَطَاوَلَ النَّاسُ فِى الْبِنَاءِ فِى زَمَنِ عُمَرَ ، فَقَالَ عُمَرُ : يَا مَعْشَرَ الْعُرَيْبِ الأَرْضَ الأَرْضَ ، إِنَّهُ لاَ إِسْلاَمَ إِلاَّ بِجَمَاعَةٍ ، وَلاَ جَمَاعَةَ إِلاَّ بِإِمَارَةٍ ، وَلاَ إِمَارَةَ إِلاَّ بِطَاعَةٍ ، فَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى الْفَقْهِ كَانَ حَيَاةً لَهُ وَلَهُمْ ، وَمَنْ سَوَّدَهُ قَوْمُهُ عَلَى غَيْرِ فِقْهٍ كَانَ هَلاَكاً لَهُ وَلَهُمْ.


Hadits mauquf (hanya sampai ke sahabat) atau atsar ini diriwayatkan oleh al-Imam ad-Darimi dalam Sunan ad-Darimi (I/284).
Rawi-rawinya adalah sebagai berikut:
1. Yazid bin Harun
2. Baqiyyah
3. Shafwan bin Rustum
4. ‘Abdu ar-Rahman bin Maisarah
5. Tamim ad-Dari
Tamim ad-Dari radhiallaahu ‘anhu berkata :
Orang-orang telah berlomba-lomba mendirikan bangunan pada zaman ‘Umar maka ‘Umar berkata :”Wahai sekalian orang-orang ‘Arab, bumi (tanah)! bumi (tanah) !, sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan jama’ah dan tidak ada jama’ah kecuali dengan imarah, dan tidak ada imarah kecuali dengan ketaatan, barang siapa kaumnya menghitamkan (maksudnya mempengaruhi, mengajari, mencelup) dia dengan fiqh maka itu adalah kehidupan baginya dan bagi mereka dan barang siapa kaumnya menghitamkan dia dengan selain fiqh maka itu adalah kehancuran bagi dia dan mereka.”

Riwayat tersebut juga disebutkan oleh al-Imam Abu ‘Umar bin ‘Abdi al-Barr dalam Jami’u Bayani al-‘Ilmi wa Fadhlihi (I/260) dengan sanad yang sama.

Kedudukan riwayat tersebut diperselisihkan keshahihannya dengan sebab rawi no. 3 yang bernama Shafwan bin Rustum.

al-Imam al-Hafidz adz-Dzahabi menilai Shafwan adalah majhul (tidak dikenal), beliau menukil dari al-Azdi bahwa Shafwan haditsnya munkar (Lisaan al-Miizaan (I/498) dan Miizaan al-I’tidal (2/316))
menurut ilmi musthalah hadits, karena haditsnya munkar dan juga beliau (Shafwan) majhul maka tidak mungkin terangkat menjadi hasan li ghairihi kalau ada jalur sanad yang lain. Setelah saya teliti dan berusaha mencari-cari jalan-jalan lain ternyata tidak ada, kalaupun ada tidak akan mampu mengangkat kelemahan riwayat tersebut.
Sehingga in my humble opinion riwayat tersebut adalah lemah dan tidak bisa menjadi sandaran dalam ber-Islam.
ALLAH A'lam

Kisah 'Umar Tentang Kemuliaan

عن طارق بن شهاب ، قال : خرج عمر بن الخطاب إلى الشام ومعنا أبو عبيدة بن الجراح فأتوا على مخاضة وعمر على ناقة له فنزل عنها وخلع خفيه فوضعهما على عاتقه ، وأخذ بزمام ناقته فخاض بها المخاضة ، فقال أبو عبيدة : يا أمير المؤمنين أنت تفعل هذا ، تخلع خفيك وتضعهما على عاتقك ، وتأخذ بزمام ناقتك ، وتخوض بها المخاضة ؟ ما يسرني أن أهل البلد استشرفوك ، فقال عمر : « أوه لم يقل ذا غيرك أبا عبيدة جعلته نكالا لأمة محمد صلى الله عليه وسلم إنا كنا أذل قوم فأعزنا الله بالإسلام فمهما نطلب العزة بغير ما أعزنا الله به أذلنا الله »

Dari Thariq bin Syihab, beliau berkata: “ ‘Umar bin al-Khattab keluar menuju Syam dan bersama kami Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah, kemudian mereka datang pada air yang dangkal dan ‘Umar berada di atas untanya kemudian beliau turun dan melepas kedua khufnya dan meletakkannya di atas pundaknya dan memegang tali kekang untanya kemudian menyeberang air yang dangkal tersebut. Maka Abu ‘Ubaidah berkata :” Wahai amir al-mukminin! Engkau melakukan ini? Engkau melepas kedua khufmu dan meletakkannya di atas pundakmu? dan Engkau memegang tali kekang untamu? dan Engkau menyeberang air yang dangkal ini? Sungguh akan membahagiakan diriku kalau penduduk negeri memuliakanmu!” Maka ‘Umar berkata: “Awih! Tidak ada yang berkata demikian kecuali Engkau wahai Abu ‘Ubaidah! Engkau menjadikannya pelajaran bagi ummat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Kita dahulu adalah kaum yang paling hina kemudian ALLAH memuliakan kita dengan Islam, maka apabila kita mencari kemuliaan dengan selain apa yang dengannya ALLAH memuliakan kita (Islam) niscaya ALLAH akan menghinakan kita!””


Dikeluarkan oleh al-Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak dengan sanadnya sampai Thariq bin Syihab (1/203) dari jalur Ayyub bin A’idz ath-Tha’i dan dari jalur al-A’masy (1/204) dengan lafadz :

« إنا قوم أعزنا الله بالإسلام ، فلن نبتغي العزة بغيره »

“Kita kaum yang dimuliakan ALLAH dengan Islam, maka kita tidak akan mencari kemuliaan dengan selainnya”

al-Hakim menshahihkannya

Juga dikeluarkan oleh al-Imam Abu Bakar bin Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (8/39 dan 8/146)
al-Albani menshahihkannya dalam Silsilah ash-Shahihah (1/50)
dan menyetujui penshahihan riwayat ini oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
Beliau (al-Albani) berkata “wa huwa kamaa qaalaa”.
Beliau juga menshahihkan dalam Shahih at-Targhib wa at-Tarhib (3/63)

Riwayat tersebut juga dishahihkan oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman dalam tahqiq
al-Mujalasah wa Jawahir al-Ilmi Abu Bakar ad-Dinawari al-Maliki (2/273)



*Semua halaman merujuk pada al-Maktabah asy-Syamilah


http://noorakhmad.blogspot.com/2008/12/kisah-umar-tentang-kemuliaan.html

Hadits-hadits Tentang Adzan dan Iqamah di Telinga Bayi

 
Hadits yang pertama lengkapnya:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ قَالَا أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ

Rawi:
1. Muhammad bi Basysyar
2. Yahya bin Sa'id dan 'Abdurrahman bin Mahdi
3. Sufyan
4. 'Ashim bin 'Ubaidillah
5. 'Ubaidullah bin Abi Rafi'
6. Bapak 'Ubaidullah bin Abi Rafi'

Artinya:" Bapak 'Ubaidullah bin Abi Rafi' berkata:"Aku telah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adzan di telinga al-Hasan bin 'Ali ketika Fathimah telah melahirkannya dengan adzan Shalat".

Hadits ini riwayat at-Tirmidzi (No.1436) dan beliau berkata hasan shahih

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ سُفْيَانَ قَالَ حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ

Rawi:
1. Musaddad
2. Yahya
3. Sufyan
4. 'Ashim bin 'Ubaidillah
5. 'Ubaidullah bin Abi Rafi'
6. Bapak 'Ubaidullah bin Abi Rafi'

Riwayat Abu Dawud (No. 4441) dan beliau tidak berkomentar apa-apa.

Arti hadits sama dengan riwayat at-Tirmidzi. Terdapat pula riwayat-riwayat dari kitab-kitab hadits yang lain akan tetapi kembalinya kepada 'Ashim.

Permasalahan dalam hadits ini adalah pada rawi no. 4 yang bernama 'Ashim bin 'Ubaidillah, lengkapnya 'Ashim bin 'Ubaidillah bin 'Ashim bin 'Umar bin al-Khattab sehingga beliau adalah salah satu cicit sahabat 'Umar radhiallah 'anhu.
Komentar para ulama hadits dan jarh wa ta'dil (saya ambil dari Tahdzib at-Tahdzib oleh al-Hafidz Ibnu Hajar, no. 79 ):

'Ali bin al-Madini berkata, aku telah mendenganr Abdurrahman menginkari haditsnya ('Ashim) dengan pengingkaran yang sangat.
Ya'kub bin Syaibah berkata dari Ahmad: Haditsnya ('Ashim) dan hadits Ibnu 'Aqil "Ilaa adh-dha'fi maa huw" (maknanya haditsnya lemah)
Ibnu Ma'in berkata: lemah
Ibnu Sa'ad berkata: Dia banyak haditsnya dan tidak boleh digunakan sebagai hujjah
al-Jauzajani berkata: Ibnu 'Uyainah mengkritik hafalannya
Ya'qub bin Syaibah berkata: orang-orang menilainya dan hadits-haditsnya lemah dan dia mempunyai hadits-hadits munkar
Ibnu Numair berkata : 'Ashim munkar
Abu Hatim berkata: Haditsnya munkar, mudhtharib dan tidak ada yang bisa dijadikan pegangan
al-Bukhari berkata : Haditsnya munkar
dan masih banyak kritikan-kritikan dari para Ulama hadits tentang diri 'Ashim ini,
semuanya mengkritik dari sisi hafalannya. Kemudian sebagian membolehkan menulis haditsnya sebagian tidak membolehkan menulist haditsnya.
Silakan dirujuk Tahdzib at-Tahdzib no 79.

al-Hafidz Ibnu Hajar al-'Asqalani menyimpulkan dalam Taqrib at-Tahdzib bahwa 'Ashim ini "dha'if" yaitu lemah
derajat lemah ini berarti beliau boleh ditulis haditsnya.

Dari sini nampak dari sisi sanad terdapat rawi yang lemah sehingga secara sanad, hadits ini sanadnya lemah.
Kemudian beberapa Ulama menghasankan hadits ini seperti at-Tirmidzi yang berkata haditsnya hasan shahih.

Kemungkinan beliau mengangkat hadits ini ke derajat hasan karena ada beberapa riwayat yang semakna yang mungkin bisa dijadikan penguat.
Penguat-penguat tersebut di antaranya

Hadits kedua lengkapnya:

حدثنا جبارة ، حدثنا يحيى بن العلاء ، عن مروان بن سالم ، عن طلحة بن عبيد الله ، عن حسين قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « من ولد له فأذن في أذنه اليمنى وأقام في أذنه اليسرى لم تضره أم الصبيان »

Rawi:
1. Jabbarah
2. Yahya bin al-'Alaa'
3. Marwan bin Salim
4. Thalhah bin 'Ubaidillah
5. Husain

Artinya: "Barang siapa mempunyai anak kemudian mengadzani di telinganya yang kanan dan iqamat di telinga yang kiri maka Ummu Shibyan (sejenis Jin) tidak bisa mencelakakannya"
Hadits ini dikeluarkan olah Abu Ya'laa al-Maushili dalam Musnadnya no 6634, sedang riwayat Ibnu Sunny saya belum menemukannya. Al-Albani dalam Silsilah Hadits Dha'if wa Maudhu' no 321 menyatakan bahwa riwayat Ibnu Sunny ini sama jalurnya dengan riwayat Abu Ya'laa ini.
Hadits semakna dikeluarkan oleh al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman no 8370 dari jalur riwayat yang sama dengan sanad nazil. al-Baihaqi kemudian melemahkannya.
Kalau betul lemah maka tentu bisa menjadi dasar untuk menguatkan hadits yang pertama menjadi hasan lighairihi tentang syari'at adzan, sedang iqamat masih tetap dalam kelemahannya.
Apakah hadits ini lemah? atau bahkan lebih lemah atau sampai palsu? kita lihat rawi2nya.

Yahya bin al-'Alaa'
al-Hafidz berkata dalam Taqrib at-Tahdzib no 7618 "rumiya bi al-wadh'i" yakni dituduh memalsukan hadits
beliau berkesimpulan seperti itu berdasarkan apa yang ada di Tahdzib at-Tahdzib no 427. yakni:

al-Imam Ahmad bin Hambal berkata : Dia memalsukan hadits
an-Nasa'i dan ad-Daruquthni berkata: Haditsnya matruk (ditinggalkan)
begitu juga ulama hadits yang lain mengkritiknya dari sekedar lemah sampai memalsukan hadits
maka kesimpulan al-Hafidz Ibnu Hajar sungguh kuat.

Dari satu rawi ini saja sudah menunjukkan bahwa hadits ini tidak bisa jadi penguat sama sekali, karena syarat penguat setidaknya sekedar lemah saja bukan hadits yang ada rawi yang dituduh memalsukan hadits.

Ini belum Marwan bin Salim yang mana al-Albani juga menyatakan bahwa dia memalsukan hadits (Silsilah Hadits Dha'if wa Maudhu' no 321)

Kemungkinan masih ada hadits lain yakni

Hadits yang ketiga lengkapnya:

وأخبرنا علي بن أحمد بن عبدان ، أخبرنا أحمد بن عبيد الصفار ، حدثنا محمد بن يونس ، حدثنا الحسن بن عمرو بن سيف السدوسي ، حدثنا القاسم بن مطيب ، عن منصور ابن صفية ، عن أبي معبد ، عن ابن عباس ، أن النبي صلى الله عليه وسلم : أذن في أذن الحسن بن علي يوم ولد ، فأذن في أذنه اليمنى ، وأقام في أذنه اليسرى

Rawi
1. 'Ali bin Ahmad bin 'Abdan
2. Ahmad bin 'Ubaid ash-Shafar
3. Muhammad bin Yunus
4. al-Hasan bin ‘Amru bin Saif as-Sadusi (di maktabah syamilah ‘Umar bukan ‘Amru, Amru’ adalah versi cetak)
5. al-Qasim bin Muthayyib
6. Manshur bin Shafiyah
7. Abi Ma'bad
8. Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma

Artinya:"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adzan di telinga al-Hasan bin 'Ali pada hari beliau dilahirkan maka beliau adzan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri"

Hadits diriwayatkan al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman no. 8371, beliau melemahkannya.
Apakah kelemahannya ini bisa dijadikan penguat? kita lihat kualitas rawi-rawinya

Dari rawi-rawi tersebut yang membuat hadits ini sangat lemah atau mendekati maudhu’ adalah
al-Hasan bin ‘Amru bin Saif

al-Hafidz berkata dalam Tahdzib at-Tahdzib no 538

al-Bukhari berkata: Kadzdzab yakni pendusta
ar-Razi berkata: Matruk yakni ditinggalkan
sehingga al-Hafidz berkesimpulan bahwa al-Hasan ini matruk (Taqrib at-Tahdzib no 1269)

kalau ada satu rawi yang matruk maka tidak ada pengaruhnya kualitas rawi-rawi yang lain sehingga hadits ini tidak bisa dijadikan penguat.

Kesimpulan saya:
Hadits pertama adalah dha’if atau lemah
dan tidak bisa diangkat menjadi hasan karena kedua penguat derajatnya maudhu’ atau mendekati maudhu’.
Ini adalah kesimpulan al-Albani dalam silsilah hadits dha’if wa maudhu’
setelah sebelumnya sempat menghasankannya dalam kitab-kitab beliau sebelum.
Ini adalah salah satu taraju’ (mencabut ijtihad yang lami ke baru) dari beliau.

Silakan disimpulkan sendiri dari uraian di atas.

Note: semua referensi saya ambil dari Maktabah Syamilah, sebagian saya cross check dengan edisi cetak yang telah di pdf kan

ALLAH A’lam


http://noorakhmad.blogspot.com/2008/12/hadits-hadits-tentang-adzan-dan-iqamah.html

I'rab Surat Quraisy

 
لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ (1)
لِإِيلَافِ قُرَيْشٍ
Jar majrur muta’alliq dengan firman-Nya (( fal ya’buduu)), Allah memerintahkan mereka untuk menyembah-Nya karena kebiasaan mereka melakukan dua perjalanan. Sebagian berkata: Maknanya adalah: Sungguh menakjubkan kebiasaan suku Quraisy!. al-Iilaaf mashdar dari Aalafa dengan makna Allafa. Sebagian berkata: Lam adalah lam sebab maknanya dengan sebab (Li ajli) atau untuk ta’lil atau diperkirakan sebagai :((Sungguh menakjubkan kebiasaan suku Quraisy)) yakni Lam nya untuk ta’ajub. Quraisy adalah mudhaf ilaihi majrur dengan idhafah dan alamat jarrnya adalah kasrah.

إِيلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَالصَّيْفِ (2)
Iilaafihim : badal dari (( iilaaf )) yang pertama, majrur sepertinya dan alamat jarrnya adalah kasrah. (( hum )) dhamir ghaib jamak fii mahalli jarrin bil idhafah. Rihlata asy-syitaa’ wa ash-shaiif : maf’ul bihi dari mashdar manshub dan alamat nashabnya adalah fathah yakni : Allafuu rihlatan ( mereka mengumpulkan perjalanan ). asy-Syitaa’(musim dingin): mudhaf ilaihi majrur bil idhafah, alamat jarrnya kasrah, ash-Shaiif (musim panas) : di’athaf dengan wawu atas asy-Syitaa’ dan dii’rab dengan i’rabnya.
فَلْيَعْبُدُوا رَبَّ هَذَا الْبَيْتِ (3)
Falya’buduu : faa’ ada dalam jawab syarat yang diperkirakan (muqaddarah) atas makna, yaitu bahwa ni’mat-ni’mat Allah atas mereka tidaklah terhitung maka apabila mereka tidak menyembah-Nya karena seluruh ni’mat-Nya maka hendaklah mereka menyembah-Nya karena satu saja karena ni’mat yang nyata ini. Lam adalah lam amr (perintah). Ya’buduu : fi’il mudhari’ majzum dengan lam dan alamat jazmnya adalah membuang nun. Wawu adalah dhamir muttashil fii mahalli raf’i fa’ilin. Rabba haadzaa : maf’ul bihi manshub dengan alamat nashabnya adalah fathah. Haadzaa : isim isyaarah mabniy ‘alaa sukun fii mahalli jarr bil idhafah. al-Bait : sifat atau na’at untuk isim isyarah atau badal minhu majrur dengan alamat jarrnya kasrah.
الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآَمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ (4)

Alladzii : isim maushul mabniy ‘alaa sukun fii mahalli nashbi shifatin atau na’atin terhadap Rabb. Jumlah fi’liyah setelahnya shilatuhu laa mahalla lahaa Ath’amahum min juu’in : fi’il madhi mabniy ‘alaa fathah. Fa’ilnya adalah dhamir mustatir fiihi jawaazan. Taqdirnya (perkiraannya) adalah huwa (dia). Hum adalah dhamir ghaib jamak fii mahalli nashab maf’ul bihi. Min juu’in : jarr majrur muta’alliq dengan ath’ama, yakni : Allah memberi makan pada mereka dengan dua musim dari kelaparan yang sangat. Wa aamanahum min khauuf : di’athaf dengan wawu atas (( ath’amahum min juu’in)) dan dii’rab dengan i’rab kalimat di atasnya. Sebagian berkata ((min)) maknanya adalah ((‘an)) atau makna badal yakni badal juu’in.


http://noorakhmad.blogspot.com/2008/12/irab-surat-quraisy.html

Shalat 'Id Bertepatan Dengan Hari Jum'at

 
Masalah boleh atau tidaknya seseorang yang meninggalkan sholat Jum'at karena mendapati Idul Fitri bertepatan hari Jum'at adalah ikhtilaf di antara imam yang empat dan imam-imam yang lain. Pendapat untuk tetap shalat Jum'at bagi yang tidak kepayahan datang (karena di luar kota) adalah pendapat al-Imam asy-Syafi'i (al-Umm I:274(Syamilah)) berdasarkan hadits Utsman yang beliau membolehkan penduduk al-Awali (luar kota Madinah) untuk tidak datang shalat Jum'at saat terjadi Ied pada hari Jum'at (riwayat ini disebutkan oleh al-Bukhari dari Abu 'Ubaid no 5145 (Syamilah))
Ada baiknya disebutkan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah ini secara lengkap.
[1]
قَالَ أَبُو عُبَيْد ثُمَّ شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدْ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِي فَلْيَنْتَظِرْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ
Al-Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya, Abu Ubaid berkata : kemudian aku menyaksikan Ied bersama Utsman bin Affan, hari itu adalah Jumat maka beliau shalat sebelum khutbah kemudian berkhutbah, beliau berkata : Wahai manusia sesungguhnya hari ini adalah hari berkumpulnya dua Ied bagi kalian (Jumat dan Ied), barangsiapa penduduk ‘Aliah (nama daerah di Madinah) yang suka menunggu Jumat silakan menunggu, barangsiapa suka kembali (pulang) maka aku izinkan (al-Bukhari no. 5145(Syamilah))
[2]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ قَدْ اجْتَمَعَ فِي يَوْمِكُمْ هَذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنْ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
Abu Dawud meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah, dari Rasulullah ‘alaihi shalatu wa salam bahwasanya beliau berkata : Telah berkumpul dua Ied (Jumat dan Ied) pada hari kalian ini, maka barangsiapa mau Iednya telah mencukupinya dari Jumat, sesungguhnya kami akan melaksanakan Jumat. (Abu Dawud no 907 dan Ibnu Majah no 1301 (dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah) dan dishahihkan al-Albani (Syamilah))
[3]
عن إياس بن أبي رملة الشامي قال شهدت معاوية بن أبي سفيان وهو يسأل زيد بن أرقم قال أشهدت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم عيدين اجتمعا في يوم قال نعم قال فكيف صنع قال صلى العيد ثم رخص في الجمعة فقال من شاء أن يصلي فليصل .
Dari Iyas bin Abi Ramlah, beliau berkata : Aku menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan bertanya kepada Zaid bin Arqam : Apakah engkau menyaksikan dua Ied (Ied dan Jumat) bersamaan dalam satu hari bersama Rasulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Zaid berkata : ya, Mu’awiyah berkata : Kemudian bagaimana yang beliau lakukan? Zaid berkata : Beliau shalat Ied kemudian memberikan rukhsah (keringanan) tentang Jumat, beliau berkata : barang siapa hendak shalat silakan shalat (Jumat).
Abu Dawud(904) dan Ibnu Majah(1300) (Syamilah) dishahihkan al-Albani
[4]
وَهْبُ بْنُ كَيْسَانَ قَالَ اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَأَخَّرَ الْخُرُوجَ حَتَّى تَعَالَى النَّهَارُ ثُمَّ خَرَجَ فَخَطَبَ فَأَطَالَ الْخُطْبَةَ ثُمَّ نَزَلَ فَصَلَّى وَلَمْ يُصَلِّ لِلنَّاسِ يَوْمَئِذٍ الْجُمُعَةَ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ
Wahab bin Kaisan berkata : Dua Ied (Ied dan Jumat) berkumpul (dalam satu hari) pada zaman Ibnu Zubair (Abdullah) maka beliau mengakhirkan keluar (untuk shalat Ied) sampai cukup siang kemudian beliau keluar dan berkhutbah dengan khutbah yang panjang kemudian turun dan melaksanakan shalat , dan orang-orang tidak melaksanakan shalat Jumat hari itu, kemudian disebutkan kepada Ibnu Abbas, maka beliau berkata : Itu sesuai sunnah.
An-Nasai (1574) dishahihkan al-Albani dalam Shahih An-Nasai (1592) (Syamilah)
[5]
عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى بِالنَّاسِ ثُمَّ قَالَ مَنْ شَاءَ أَنْ يَأْتِيَ الْجُمُعَةَ فَلْيَأْتِهَا وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتَخَلَّفَ فَلْيَتَخَلَّفْ
Dari Nafi’ dari Ibnu Umar, beliau berkata : Telah berkumpul dua Ied pada zaman Rasulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliau shalat Ied bersama orang-orang kemudian berkata : Barang siapa mau mendatangi Jumat silakan datang dan barang siapa ingin meninggalkan maka silakan meninggalkan.
Ibnu Majah (1302) dishahihkan al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah (1312) (Syamilah)
Hadits [1] diriwayatkan al-Bukhari sehingga tidak perlu dibahas derajatnya, hanya saja mauquf (tidak sampai Nabi ‘alaihi shalatu wa salam) sampai Utsman bin Affan saja dan ada taqyid (pembatasan) pada penduduk ‘awali (‘aliyah) yang mungkin dianggap kepayahan kalau harus mendatangi Jumat.
Hadits yang lain kecuali [4] diperselisihkan derajatnya.
Hadits [2] dikritik karena ada Baqiyyah bin al-Walid, Ibnu Hajar mengatakan shaduq (jujur) banyak tadlis (penyamaran) dari rawi2 yang lemah, adz-Dzahabi mengatakan hafidz, ditsiqahkan oleh mayoritas selama meriwayatkan dari para rawi tsiqah (terpercaya), an-Nasa’i mengatakan apabila beliau berkata haddatsana dan akhbarana maka dia (Baqiyyah) tsiqah. ad-Daruquthni dan Ahmad merajihkan hadits ini sebagai hadits mursal (hanya sampai Abu Shalih tidak sampai Abu Hurairah maupun Ibnu Abbas) karena ada riwayat Hammad yang hanya sampai Abu Shalih. Dzahir riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah, Baqiyyah mengucapakan “haddatsana Syu’bah” sehingga bisa dipercaya (tsiqah) dan juga Syu’bah adalah tsiqah tanpa khilaf insya ALLAH. Kalaupun hadits ini mursal bisa terangkat menjadi hasan dengan syawahid (penguat2) dalam hadits [3-4].
Hadits [3] dikritik karena Iyas bin Abi Ramlah yang tidak ada keterangan jarh dan ta’dilnya dan hanya seorang saja yang meriwayatkan dari beliau yakni ‘Utsman bin al-Mughirah ats-Tsaqafi, Ibnu Hajar berkata tentang ‘Utsman “tsiqah”. Sehingga Iyas adalah majhul al-‘ain walapun Ibnu Hibban memasukkannya dalam ats-Tsiqaat, Ibnu Hibban dikenal dengan kebiasaan mentsiqahkan rawi-rawi majhul. Apakah riwayat Iyas ini boleh untuk penguat? ALLAH a’lam karena majhul al-‘ain tidak bisa terangkat menjadi hasan dengan penguat kecuali ada satu lagi rawi tsiqah yang meriwayatkan dari beliau. Saya mengira karena Iyas termasuk tabi’in pertengahan, dan jarang dari para tabi’in ini berdusta, ditambah ada seorang tsiqah tabi’in juga (‘Utsman) yang meriwayatkan dari beliau, dan para Tabi’in terbiasa hanya mengambil dari rawi-rawi tsiqah ditambah adanya penguat2 hadits [2] dan [4-5], ditambah Abu Dawud tidak mengomentarinya (Jika Abu Dawud diam tentang hadits yang ada di Sunan Abu Dawud maka beliau menganggap hadits itu adalah “Shalih” maknanya shalih (baik) untuk hujjah atau penguat) insya ALLAH hadits Iyas ini menjadi hasan, ALLAH a’lam. Sehingga al-Albani, ‘Ali bin al-Madini (guru al-Bukhari) menshahihkannya, an-Nawawi mengatakan sanadnya jayyid (bagus).
Hadits [4] tidak ada masalah dengan rawi-rawinya, an-Nawawi menshahihkan sanadnya sesuai syarat Muslim, Al-Albani juga menshahihkannya. Perkataan Ibnu Abbas “itu sesuai sunnah” menunjukkan apa yang dilakukan Ibnu Zubair adalah sesuai sunnah Nabi ‘alaihi shalatu wa salam.
Hadits [5] ada dua rawi bermasalah yakni, Mindal bin ‘Ali dan Jubarah bin al-Mughallis.
Mindal dha’if (lemah) sebagaimana disebut Ibnu Hajar dan adz-Dzahabi menyebutkan Ahmad melemahkannya, akan tetapi haditsnya boleh ditulis (boleh sebagai penguat) sebagaimana disebut Yahya bin Ma’in : tidak apa2, ditulis haditsnya.
Sedangkan Jubarah lebih parah dari Mindal, dilemahkan oleh Ibnu Hajar dan adz-Dzahabi, apakah ditulis haditsnya? ada perbedaan di kalangan ulama jarh wa ta’dil. Sebagian meninggalkannya (tidak ditulis) sebagian menulis haditsnya. Ijtihad Ibnu Hajar dan adz-Dzahabi yang hanya melemahkan Jubarah, insya ALLAH boleh ditulis haditsnya untuk penguat. Sehingga mungkin al-Albani menshahihkan hadits ini karena adanya penguat ALLAH a’lam.
Pendapat para Imam Madzhab dalam masalah ini
Abu Hanifah (al-Majmu’ 4:491-492 (Syamilah)) dan Malik (al-Mudawwanah I:388 (Syamilah)) mewajibkan Jumat bagi siapapun secara mutlak.
Pendapat asy-Syafi’i sudah disebutkan dan beliau hanya berhujjah dengan hadits Utsman [1]. Imam an-Nawawi menyebut pendapat ini adalah pendapat Utsman bin Affan, Umar bin Abdu al-Aziz, dan mayoritas ulama (al-Majmu’ 4:491-492 (Syamilah)).
Ahmad membolehkan meninggalkan Jumat secara mutlak kecuali Imam (Pemerintah) harus melaksanakan Jumat untuk mengakomodir yang ingin melaksanakan shalat Jumat, kecuali jika tidak ada yang datang shalat Jumat maka Imam boleh tidak melaksanakan. Dalilnya adalah hadits [2] di mana Rasulullah ‘alaihi shalatu wa salam tetap melaksanakan Jumat walaupun memberikan rukhsah (Al-Mughni 4:210-211(Syamilah))
Sedangkan pendapat yang terakhir adalah bolehnya meninggalkan Jumat secara mutlak, disebutkan oleh an-Nawawi dari Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Zubair(al-Majmu’ 4:491-492 (Syamilah)), Ibnu Qudamah menyebutkan ini adalah pendapat asy-Sya’bi, an-Nakha’i, al-Auza’i, Umar, Utsman, Ali, Sa’id, Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair(Al-Mughni 4:210-211(Syamilah)). Al-Albani juga berpendapat demikian (Al-Ajwibah an-Nafi’ah (hal 46)(Syamilah)). Ini adalah dzahir hadits [4] di mana Ibnu Zubair adalah Imam di Makkah waktu itu dan tidak diingkari sahabat yang lain, bahkan Ibnu Abbas membenarkannya. Ibnu Zubair dalam lafadz yang lain juga beralasan bahwa Umar melakukannya ketika beliau dicela oleh bani Ummayyah tentang masalah ini. Walaupun melaksanakan Jumat juga dilakukan oleh Rasulullah ‘alaihi shalatu wa salam, tapi bukan berarti kewajiban ketika telah melaksanakan Ied. Pendapat untuk tetap shalat Jum'at bagi yang tidak kepayahan datang (karena di luar kota) dengan alasan bahwa Rasulullah ‘alaihi shalatu wa salam melakukan Jumat berdasar hadits tentang bacaan saat shalat Jumat dan Ied, tidak menafikan dan tidak melazimkan bahwa Rasulullah ‘alaihi shalatu wa salam tidak memberikan rukhsah padahal rukhsah telah jelas2 diberikan dalam hadits [2-5]. Silakan kita amati hadits-hadits tersebut dan menyimpulkan dengan daya nalar yang kritis dan semangat mencari yang paling mendekati kebenaran. ALLAH a’lam.
Sedangkan yang membolehkan meninggalkan Jumat secara mutlak terbagi menjadi dua pendapat tentang wajibnya shalat dzuhur, ‘Atha berpendapat tidak perlu shalat dzuhur, sedangkan pendapat yang lain adalah tetap wajib shalat Dzuhur karena tidak secara tegas disebutkan kalau Ibnu Zubair tidak shalat dzuhur (beliau mungkin shalat di rumahnya), dan ini yang lebih kuat insya ALLAH.

*Keterangan tentang rawi-rawi saya ambil dari Mausu’ah Ruwat al-Hadits yang berisi Tahdzib al-Kamal oleh al-Mizzi, Tahdzib at-Tahdzib dan Taqrib at-Tahdzib oleh Ibnu Hajar dan al-Kasyif oleh adz-Dzahabi dalam bentuk software, ditambah kitab-kitab jarh wa ta’dil yang ada di Maktabah Syamilah.


http://noorakhmad.blogspot.com/2008/12/shalat-id-bertepatan-dengan-hari-jumat.html

KEDUDUKAN SHOLAT DI DALAM AGAMA

Banyak orang menyatakan beragama Islam, namun banyak di antara mereka tidak memperhatikan masalah sholat. Bahkan ada juga yang tidak melaksanakan sholat sama sekali. Itu semua, antara lain disebabkan karena mereka tidak mengetahui kedudukan sholat yang sangat agung di dalam agama. Padahal dosa meninggalkan sholat itu lebih besar daripada dosa zina, berjudi, mencuri, minum khomr, dam semacamnya. Maka di sini kami akan menyampaikan masalah keagungan kedudukan sholat di dalam agama Islam, semoga bermanfaat untuk kita semua.

1- Sholat merupakan salah satu dari rukun Islam dan kewajiban terbesar setelah dua syahadat.

Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam dibangun di atas lima tiang. Syahadat Laa ilaaha illa Alloh dan Muhammad Rosululloh; menegakkan sholat; memberikan zakat; haji; dan puasa Romadhon”. (HR. Bukhori, no: 8; Muslim, no: 16)

2- Pembatas antara iman dengan kekafiran.

Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ

Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan syirik dan kekafiran adalah meninggalkan sholat. (HR. Muslim, no: 82, dari Jabir)

Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ

Perjanjian yang ada antara kami dengan mereka adalah sholat. Maka barangsiapa meninggalkannya, dia telah kafir. (HR. Tirmidzi, no: 2621; dll; Dishohihkan oleh syeikh Al-Albani)

3- Sholat merupakan tiang agama.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ الصَّلاَةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ

“Pokok urusan itu adalah Islam, tiangnya sholat, dan puncak ketinggiannya adalah jihad”. (HR. Tirmidzi, no: 2616; dll, dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani)

4- Amal yang pertama kali dihisab

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ صَلَاتُهُ فَإِنْ صَلُحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ فَإِنْ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيضَتِهِ شَيْءٌ قَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَيُكَمَّلَ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنْ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ يَكُونُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَى ذَلِكَ

Sesungguhnya pertama kali amal hamba yang akan dihisab pada hari kiamat adalah sholatnya. Jika sholatnya baik, maka dia beruntung dan sukses, namun jika sholatnya rusak, maka dia gagal dan rugi. Jika ada sesuatu kekurangan dari sholat wajibnya, maka Ar-Robb (Alloh) ‘Azza wa Jalla berfirman: “Perhatikan (wahai para malaikat) apakah hambaKu ini memiliki sholat tathowwu’ (sunah), sehingga kekurangan yang ada pada sholat wajibnya bisa disempurnakan dengannya!”. Kemudian seluruh amalannya akan dihisab seperti itu. (HR. Ibnu Majah, no: 1425; Tirmidzi, no: 413; lafazh ini bagi imam Tirmidzi; dishohihkan oleh Syeikh Al-Albani)

5- Hukum sholat adalah fardhu ‘ain (kewajiban setiap mukallaf) dalam semua keadaan, baik laki-laki atau perempuan (kecuali sedang haidh atau nifas); budak atau orang merdeka; pejabat atau rakyat; kaya atau miskin, muqim atau musafir, sehat atau sakit, takut atau aman. Alloh Ta’ala berfirman:

حَافِضُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا للهِ قَانِتِينَ فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَآ أَمِنتُمْ فَاذْكُرُوا اللهَ كَمَا عَلَّمَكُم مَّالَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa (ashar). Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’. Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
(QS. Al-Baqoroh/2: 238-239)

6- Menjaga sholat merupakan wasiat terakhir Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ كَانَ مِنْ آخِرِ وَصِيَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ حَتَّى جَعَلَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُلَجْلِجُهَا فِي صَدْرِهِ وَمَا يَفِيصُ بِهَا لِسَانُهُ

Dari Ummu Salamah, dia berkata: “Wasiat terakhir Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ‘Perhatikanlah sholat, perhatikanlah sholat, dan budak-budak yang kamu miliki’. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengulang-ulangnya di dalam dadanya, namun lidah beliau tidak mampu mengungkapkannya dengan jelas. (HR. Ahmad 6/290, 311, 321)

7- Alloh mewajibkannya secara langsung kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada malam isro’ mi’roj dan tidak akan merubahnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang hal ini:

فَفَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى أُمَّتِي خَمْسِينَ صَلَاةً فَرَجَعْتُ بِذَلِكَ حَتَّى مَرَرْتُ عَلَى مُوسَى فَقَالَ مَا فَرَضَ اللَّهُ لَكَ عَلَى أُمَّتِكَ قُلْتُ فَرَضَ خَمْسِينَ صَلَاةً قَالَ فَارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَإِنَّ أُمَّتَكَ لَا تُطِيقُ ذَلِكَ فَرَاجَعْتُ فَوَضَعَ شَطْرَهَا فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى قُلْتُ وَضَعَ شَطْرَهَا فَقَالَ رَاجِعْ رَبَّكَ فَإِنَّ أُمَّتَكَ لَا تُطِيقُ فَرَاجَعْتُ فَوَضَعَ شَطْرَهَا فَرَجَعْتُ إِلَيْهِ فَقَالَ ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَإِنَّ أُمَّتَكَ لَا تُطِيقُ ذَلِكَ فَرَاجَعْتُهُ فَقَالَ هِيَ خَمْسٌ وَهِيَ خَمْسُونَ لَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى فَقَالَ رَاجِعْ رَبَّكَ فَقُلْتُ اسْتَحْيَيْتُ مِنْ رَبِّي

“Kemudian Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan lima puluh shalat (setiap hari) atas umatku. Lalu aku kembali dengan itu sehingga aku melewati Musa. Lalu dia (Musa) bertanya: “Apa yang telah Allah wajibkan bagi-mu atas umat-mu ?” Aku menjawab: “Dia telah mewajibkan limapuluh kali shalat atas mereka”. Musa berkata: “Kembalilah kepada Rabbmu, (mohonlah kepadaNya untuk meringankanmu) sesungguhnya umatmu tidak akan mampu melakukannya.” Lalu aku mohon kembali, maka Alloh mengurangi setengahnya. Lalu aku kembali kepada Musa, aku berkata: “Allah telah mengurangi setengahnya”. Musa berkata: “Kembalilah kepada Rabbmu, sesungguhnya umatmu tidak akan mampu melakukannya.” Lalu aku mohon kembali, maka Alloh mengurangi setengahnya. Lalu aku kembali kepada Musa, dia berkata: “Kembalilah kepada Rabbmu, sesungguhnya umatmu tidak akan mampu melakukannya.” Lalu aku mohon kembali, maka Alloh berfirman: “Kewajiban itu 5 kali, namun (pahalanya) 50. Perkataan ini tidak akan diganti selamanya di sisiKu”. Lalu aku kembali kepada Musa, dia berkata: “Mohonlah kembali kepada Robbmu”. Aku menjawab: “Aku telah malu”. (HR. Bukhori, no. 349)

8- Tujuan harta diciptakan untuk menegakkan sholat dan membayar zakat.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ إِنَّا أَنْزَلْنَا الْمَالَ لِإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَلَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادٍ لَأَحَبَّ أَنْ يَكُونَ إِلَيْهِ ثَانٍ وَلَوْ كَانَ لَهُ وَادِيَانِ لَأَحَبَّ أَنْ يَكُونَ إِلَيْهِمَا ثَالِثٌ وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ ثُمَّ يَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

Sesungguhnya Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman: “Sesungguhnya Kami menurunkan harta untuk menegakkan sholat dan membayar zakat. Seandainya manusia itu memiliki harta satu lembah, dia suka memiliki lembah kedua. Jika dia memiliki harta dua lembah, dia suka memiliki lembah ketiga. Dan tidak akan memenuhi perut manusia kecuali tanah, kemudian Alloh akan menerima taubat orang yang bertaubat. (HR.Ahmad, no. 21399; Thobroni di dalam Al-Kabir; Lihat Shohih al-Jami’us Shoghir, no. 1777)

9- Sholat wajib dilakukan 5 kali sehari semalam, berbeda dengan rukun-rukun Islam yang lain.

Hal ini –wallohu a’lam- sebagai isyarat bahwa ruh memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi sebagaimana kebutuhan badan; mengingatkan hamba bahwa setiap waktu dia harus meniti jalan Alloh; mengingatkan bahwa hamba selalu diawasi oleh Alloh; mengingatkan jangan sampai tenggelam di dalam urusan dunia yang fana; dan sebagai sarana mencegah perbuatan keji dan mungkar; serta membersihkan dosa dengan berulang-ulang.

10- Ijma’ sahabat Nabi tentang kekafiran orang yang meninggalkan sholat.

Banyak ulama’ menyebutkan hal ini, seperti di dalam kitab Al-Muhalla 2/242-243, karya Imam Ibnu Hazm; Kitabus Sholat, hlm. 26, karya Imam Ibnul Qoyyim; dan Syarhul Mumti’ 2/28, karya syaikh Al-‘Utsaimin.

Selain itu juga terdapat keterangan bahwa meninggalkan sholat merupakan penyebab kecelakaan dan sebab masuk neraka Saqor. Inilah sedikit keterangan mengenai kedudukan sholat yang sangat agung di dalam agama Islam, semoga Alloh Ta’ala selalu menolong kita untuk melaksanakan sholat dengan sebaik-baiknya. Aamiin.


http://ustadzmuslim.com/?p=14

KEWAJIBAN PERTAMA SEORANG HAMBA


Sesungguhnya Alloh telah menciptakan manusia, dari tidak ada menjadi ada. Alloh telah memberikan berbagai keperluan hidup manusia di dunia ini. Dia juga memberikan akal dan naluri, yang dengannya -secara global- manusia dapat membedakan apa-apa yang bermanfaat baginya dan yang membahayakannya.

Alloh menjadikan manusia dapat mendengar, melihat, berfikir, berbicara, dan berusaha. Sesungguhnya itu semua sebagai ujian, apakah manusia akan bersyukur kepada Penciptanya, beribadah kepadaNya semata, taat dan tunduk terhadap syari’atNya, ataukah mengingkari kenikmatan dan menentang terhadap agamaNya.

Alloh berfirman:

هَلْ أَتَى عَلَى الإِنسَانِ حِيٌن مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُن شَيْئًا مَّذْكُورًا {1} إِنَّا خَلَقْنَا اْلإِنسَانَ مِن نُّطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نَّبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا {2} إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا

Bukankah telah datang pada manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (QS. Al-Insan (76):1-3)

Oleh karena itulah, manusia wajib mengetahui apakah kewajiban pertama kali yang harus dia lakukan kepada Penciptanya.

DUA SYAHADAT KEWAJIBAN PERTAMA HAMBA

Sesungguhnya banyak dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah yang menunjukkan bahwa kewajiban pertama manusia adalah dua syahadat, syahadat Laa ilaaha illa Alloh dan syahadat Muhammad Rosululloh.

Inilah di antara dalil-dalil tersebut:

1- Firman Alloh:

وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لآ إِلَهَ إِلآ أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rosul sebelum-mu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Ilaah (yang hak) melainkan Aku, maka kamu sekalian hendaklah beribadah kepada (menyembah) Ku “. (QS. Al-Anbiya’ (21):25)

Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata di dalam Tafsirnya pada ayat ini: “Seluruh para Rasul –sebelummu (Muhammad Rasulullah)- bersama kitab-kitab mereka, inti dan pokok risalah mereka adalah perintah: beribadah kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya, dan penjelasan bahwa Allah adalah ilah yang haq, al-ma’bud (yang berhak diibadahi), dan bahwa peribadahan kepada selainNya adalah batil .” (Taisir Karimir Rahman Fi Tafsir Kalamil Mannan)

Kalimat Laa ilaaha illa Alloh merupakan pokok risalah seluruh para Rosul, maka hal ini merupakan kewajiban pertama kali sebelum lainnya.

2- Tauhid adalah perintah Allah yang pertama kali, sehingga merupakan kewajiban pertama kali yang harus ditunaikan dan jalan pertama kali yang harus ditempuh seorang hamba. Sebaliknya, lawan tauhid, yaitu syirik merupakan larangan pertama kali.

Kita dapatkan fi’il (kata kerja) pertama kali yang Alloh sebutkan dalam mush-haf Al-Qur’an adalah tauhid. Yaitu:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ {5}

Hanya kepadaMu kami berbadah dan hanya kepadaMu kami mohon pertolongan. (QS. Al-Fatihah (1): 5)

Kita dapati fi’il amr (kata perintah) pertama kali di dalam Al-Qur’an adalah tauhid, yaitu:

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ {21}

Hai manusia, sembahlah Rabb-mu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. (QS. Al-Baqoroh (2): 21)

Ketika Alloh menyebutkan 10 kewajiban manusia, kewajiban pertama yang Alloh sebutkan adalah kewajiban beribadah hanya kepadaNya dan larangan syirik, ini adalah makna kalimat Laa ilaaha illa Alloh. Yaitu firman Alloh:

وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا {36}

(1) Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. (2) Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, (3) karib-kerabat, (4) anak-anak yatim, (5) orang-orang miskin, (6) tetangga yang dekat dan (7) tetangga yang jauh, (8) teman sejawat, (9) ibnu sabil dan (10) hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (QS. An-Nisa’ (4):36)

Pada tempat yang lain, ketika Allah menyebutkan 10 larangan, Dia memulai dengan larangan syirik, dan ini merupakan kandungan kalimat Laa ilaaha illa Alloh. Dia berfirman:

قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلاَّ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلاَ تَقْتُلُوا أُوْلاَدَكُم مِّنْ إِمْلاَقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلاَ تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلاَ تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ باِلْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ {151} وَلاَ تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلاَّ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لاَ نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللهِ أَوْفُوا ذَالِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ {152} وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَالِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ {153}

Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Rabbmu, yaitu:

(1) Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, (2) berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, (3) dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan (4) janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak diantaranya maupun yang tersembunyi, (5) dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu (sebab) yang benar”. Demikian itu yang diperintahkan oleh Rabbmu kepadamu supaya kamu memahami(nya).

(6) Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfa’at, hingga sampai ia dewasa. (7) Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. (8) Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu), (9) dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat,

(10) dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa. (QS. Al-An’am (6):151-153)

3- Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersyahadat (bersaksi) Laa ilaaha illa Allah dan Muhammad Rasulullah, menegakkan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka telah melakukannya, mereka telah menjaga darah dan harta mereka dariku, kecuali dengan hak Islam, dan perhitungan mereka atas tanggungan Allah.” (HSR. Bukhari, no: 25; dan lain-lain, dari Ibnu Umar)

Hadits ini nyata menunjukkan bahwa kewajiban pertama hamba adalah syahadat. Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi rahimahullah berkata: “Oleh karena inilah, yang benar bahwa kewajiban pertama kali atas seorang mukallaf adalah syahadat Laa ilaaha illah Allah, sehingga tauhid merupakan kewajiban pertama kali dan kewajiban terakhir kali, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa akhir perkataannya Laa ilaaha illa Allah, niscaya dia masuk sorga.” *)*)[HSR. Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim, dari Mu’adz bin Jabal. Lihat Shahih Al-Jami’ush Shaghir, no:6479] (Minhatul Ilahiyah Fi Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal:45)

4- Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Muadz bin Jabal ketika mengutusnya ke Yaman:

إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ

“Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum Ahli Kitab, maka jika engkau telah mendatangi mereka, ajaklah mereka untuk bersyahadat Laa ilaaha illa Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Alloh. Jika mereka telah mentaatimu tentang hal itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan lima kali shalat sehari semalam kepada mereka. Jika mereka telah mentaatimu tentang hal itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan shodaqoh (zakat) kepada mereka. Zakat itu diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin mereka. Jika mereka telah mentaatimu tentang hal itu, maka janganlah (engkau ambil) harta-harta mereka yang berharga (untuk zakat) dan jagalah dirimu dari doa orang yang terzholimi, karena sesungguhnya tidak ada penghalang antara dia dengan Alloh”. [HR.Bukhari no:1496, 4347; Muslim no:(29)(30)]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani rahimahullah berkata: “Permulaan terjadi dengan keduanya (dua syahadat), karena keduanya merupakan ash-luddin (dasar/pokok agama) yang semua selain keduanya tidak sah tanpa keduanya”. (Fathul Bari, penjelasan hadits no:1496)

5- Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ

Islam dibangun di atas lima (tiang): syahadat Laa ilaaha illa Alloh dan syahadat Muhammad Rosululloh; menegakkan sholat; membayar zakat; haji; dan puasa Romadhon. (Hadits Shohih Riwayat Bukhori, no: 8; Muslim, no: 16; dll)

Ini merupakan dalil yang nyata tentang bahwa syahadatain merupakan rukun Islam yang pertama, sehingga otomatis merupakan kewajiban yang pertama.

Imam Ibnul Mundzir berkata: “Setiap ulama yang aku menghafal ilmu darinya telah sepakat: bahwa jika seorang kafir mengatakan: Asy-hadu an laa ilaaha illa Alloh wa asy-hadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuuluhu (Aku bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Alloh, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Alloh dan utusanNya), dan bahwa yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah haq (benar), dan aku berlepas diri kepada Alloh dari seluruh agama yang menyelisihi agama Islam,-ketika mengatakannya itu dia sudah dewasa, sehat dan berakal- maka dia seorang muslim. Jika setelah itu dia kembali (kafir), yaitu menampakkan kekafiran, maka dia menjadi orang murtad”. (Al-Ijma’, hlm: 154; dinukil dari kitab Mauqif Ibni Taimiyah minal Asya’iroh, juz: 3, hlm: 940; karya: Dr. Abdurrohman bin Sholih bin Sholih Al-Mahmud)

ANGGAPAN SALAH

Setelah kita mengetahui penjelasan di atas, maka kita akan mengetahui kesalahan pendapat-pendapat manusia tentang kewajiban pertama atas manusia.

Sebagian orang beranggapan bahwa kewajiban manusia pertama kali adalah “berfikir dengan benar, sehingga membawa kepada pengetahuan tentang barunya alam semesta”.

Sebagian orang beranggapan bahwa kewajiban manusia pertama kali adalah “niat berfikir dengan benar”.

Sebagian orang beranggapan bahwa kewajiban manusia pertama kali adalah “ragu-ragu”.

Sebagian orang beranggapan bahwa kewajiban manusia pertama kali adalah “mengenal adanya Alloh”.

Al-Juwaini di dalam kitab Al-Irsyad, hlm: 3, mengatakan: “Pertama kali kewajiban atas orang yang aqil baligh (berakal dan dewasa) –dengan sempurnanya umur kedewasaan atau mimpi menurut syari’at- adalah niat berfikir dengan benar yang membawa kepada pengetahuan dengan barunya alam”.

Demikian juga perkataan semacam ini dari Ar-Rozi di dalam Al-Muhashshol, hlm: 47 dan Al-Iijii di dalam Al-Mawaaqif, hlm: 32.

Semua pendapat di atas kesimpulannya adalah: bahwa kewajiban pertama manusia adalah: berfikir sehingga meyakini bahwa dunia ini ada yang menciptakan, yaitu Alloh Ta’ala.

Ini merupakan kesalahan besar! Karena sesungguhnya fithroh manusia telah mengenal adanya Alloh. Oleh karena itulah para Nabi dan Rosul mengatakan kepada umat mereka:

قَالَتْ رُسُلُهُمْ أَفِي اللهِ شَكٌّ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ

Berkata rasul-rasul mereka:”Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi?” (QS. 14:10)

Demikian juga bahwa semata-mata mengakui adanya Alloh tidaklah menjadikan orang itu beriman atau Islam, karena orang-orang musyrik jahiliyah juga meyakini adanya Alloh. Hal itu disebutkan dalam beberapa ayat dalam Al-Qur’an.

قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَآءِ وَاْلأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ اْلأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللهُ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ {31}

Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan” Maka mereka (orang-orang musyrik Jahiliyah) menjawab: “Alloh”. Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?” (QS. Yunus:31)

Oleh karena itulah, seseorang yang meyakini adanya Alloh dan keesaan kekuasaanNya belum disebut orang Islam atau orang beriman, sehingga dia mengimani keesaan uluhiyah Alloh dan beribadah kepadaNya semata dengan mengikuti jalan RosulNya, juga mengimani nama-nama dan sifat-sifat Alloh serta semua yang dibawa oleh RosulNya dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala.

Sebagai penutup tulisan ini, kami nukilkan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (wafat 728 H), seorang ‘alim yang dikenal kelurusannya di dalam aqidah dan manhaj. Beliau berkata: “Telah diketahui secara pasti di dalam agama dan telah disepakati oleh umat: bahwa fondasi Islam dan yang pertama kali diperintahkan kepada manusia adalah syahadat Laa ilaaha illa Allah dan bahwa Muhammad utusan Alloh. Dengan itulah orang kafir menjadi muslim, musuh menjadi kekasih, orang yang halal darahnya dan hartanya menjadi terjaga darah dan hartanya. Kemudian jika dia bersyahadat itu dari hatinya, maka dia telah masuk ke dalam iman. Jika dia mengucapkannya dengan lidahnya tanpa hatinya, maka dia berada pada Islam secara lahiriyah, namun tanpa iman pada batinnya.

Adapun jika dia tidak mengucapkan syahadat, padahal mampu, maka dia kafir secara lahir batin dengan kesepakatan umat Islam, menurut Salaf (orang-orang dahulu) umat ini, imam-imamnya, dan mayoritas ulama”. (Kitab Fathul Majid, hlm: 73, karya: Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh, penerbit: Dar Ibni Hazm)

Inilah mudah-mudahan bermanfaat. Semoga Alloh selalu membimbing kita di atas jalan yang lurus.

http://ustadzmuslim.com/?p=11