Mutiara Salaf

"Wahai manusia Aku hanyalah orang yang mengikuti sunnah dan bukan pembuat bid'ah. Jika Aku berbuat baik maka ikutilah dan jika Aku berbuat buruk maka ingatkanlah" [Abu Bakar Ash-Shidiq]

Blog ini dibuat terutama sebagai catatan/arsip bagi ana sehingga mudah mengakses [karena telah dikategorikan] artikel para ustadz ahlu sunnah yang materinya terpencar-pencar di masing-masing situs yang diasuh langsung oleh mereka. Namun alangkah baiknya jika ana tidak menyimpannya sendiri di dalam hard disk melainkan di sebuah blog yang diharapkan dapat bermanfaat bagi orang lain entah dia itu muslim atau kafir, ahlu sunnah atau ahli bid'ah, orang yang sudah "ngaji" atau yang masih awam.

Kamis, 06 Mei 2010

Adopsi Anak atau Poligami Saja ?

Apa yang paling dinantikan seorang pelajar yang giat belajar di sekolah? Lulus dengan predikat terbaik. Meski terkadang banyak orang tak tahu cara merumuskan keinginannya itu, dan cara menggapainya di alam nyata. Tapi setiap murid, ingin menjadi yang terbaik. Apa pula yang diharapkan oleh pasutri kala pertama kali menjalani hidup berumah tangga? Tentu saja kehadiran anak sebagai realisasi dari ‘cinta kasih’ putih yang mereka jalin selama ini.

Tapi, betapa tidak sedikit orang yang berharap, dan kenyataan berwujud di luar harapannya. Bertahun-tahun menikah, tak juga dikaruniai anak. Bagaimana Solusinya?

MENANTl SANG BUAH HATI

..dan tunggulah, sesungguhnya mereka (juga) menunggu.. .” (As-Sajdah : 30)

Kita, tak sedikit pun bisa beringsut dari ketentuan takdir. Tapi kita bukanlah Sang Pemilik takdir. Kita adalah bagian dari takdir itu sendiri. Maka tugas kita bukanlah menyoal takdir, tapi bagian kita adalah berbuat yang terbaik, sesuai yang diperintahkan Yang Maha Memiliki segala takdir.

Tiada sesuatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah..” (Al-Hadid : 22)

Catatan pena takdir sudah mengering, sehingga selamanya kita memang dalam episode demi episode penantian belaka. Kita tahu, bahwa maknanya bukan berarti kita harus duduk berpangku tangan. Karena takdir tidak pernah perduli, kita bekerja atau tidak bekerja. Sementara kita sendiri sadar, kalau ‘nasi’ tidak disuapkan ke mulut, kita tidak akan kenyang. Oleh sebab itu, yang harus kita pikirkan adalah apa yang harus saya lakukan. Rasulullah bersabda:

Lakukanlah apa yang kalian inginkan. Masing-masing orang akan dimudahkan menuju takdir yang telah ditetapkan baginya.”1

Usaha untuk memiliki anak sudah harus dimulai dari saat memilih pasangan.

تزوجوا الودود الولود فإني مكاثر بكم الأمم

Nikahilah wanita yang subur dan sayang anak. Sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya (umatku ) di hari kiamat.”2

Menikah sekian lama, tapi belum dikarunia anak. Sebabnya bisa bermacam-macam. Sebagiannya dapat kita cerna dan sebagian lagi membisu dalam misteri. Itulah yang menyebabkan sebagian kita terpaku tanpa mampu mengambil sikap. Bagaimana tidak, sedang banyak dokter angkat tangan untuk memberi komentar sebab-sebab ‘kemandulan’ itu. Suami ataupun istri, diyakini sama-sama sofiat, sama-sama subur. Tapi tidak di setiap tanah yang subur, bisa tumbuh banyak tanaman. Tidak setiap orang yang sehat otomatis harus kuat. Takdir sering bermain di lingkaran realitas yang sulit dicerna. Hanya Allah yang Maha Memahami segalanya.

Bila sudah demikian, muncullah satu tahapan baru dari makna ketawakalan yang kita pahami.

قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

“Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah Pelindumg kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal “ ( At-Taubah :51)

BILA SANG PUCUK DICINTA TAK ULAM TIBA

Saat seseorang belum diberi kepercayaan oleh Allah untuk menjadi seorang ibu atau seorang bapak, tidak selamanya dianggap sebagai sesuatu yang tidak mengenakkan. Seperti yang banyak terjadi di belahan dunia barat (yang notabene mayoritas kafir). Sepasang suami istri yang sudah sekian tahun belum dikarunia anak, tetapi, jangankan merasa sedih, mereka justru menganggap biasa-biasa saja, bahkan tidak pernah terbetik keinginan untuk memiliki momongan. Dalam kasus ini persoalannya menjadi unik. Ketidakperdulian mereka terhadap pentingnya momongan, menjadi sebuah masalah tersendiri. Latar belakangnya mungkin bisa bermacam-macam : karena sudah terbiasa mengurus kemenakan, karena mengalami trauma melihat banyak anak-anak saudara mereka atau anak-anak tetangga mereka yang bandel tidak karu-karuan. Karena trauma melihat orang yang kematian anaknya, atau bisa juga karena memang tidak memiliki rasa kasih sayang terhadap anak-anak kecil. Kepada mereka yang mengalami berbagai hal tersebut. Kami nasihatkan:

“Seorang mukmin itu selalu mengasihi dan dikasihi. Tidak ada kebaikan pada diri orang yang tidak mengasihi dan tidak dikasihi”

Jadi belum dikarunia anak lalu bersedih dan bersusah hati, pada level tertentu adalah kewajaran belaka. Asalkan perasaan itu tidak boleh dilarut-larutkan sedemikian lama, sehingga membentuk penyesalan terhadap takdir.

“Sikap seorang mukmin sungguh Ajaib ! Karena segala kondisi menjadi baik baginya. Hal itu hanya berlaku, bagi seorang mukmin saja. Apabila ia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur, itu menjadi kebaikan baginya. Dan apabila ia tertimpa musibah, ia tetap tabah, maka itu pun menjadi kebaikan baginya.”

Ketika islam memerintahkan seorang lelaki memilih istri yang ’subur’, terdapat indikasi kental bahwa salah satu tujuan menikah yang paling greget, paling esensial dan paling menyatu dengan hasrat pasutri adalah memiliki keturunan.

Hasilnya, jadilah menunggu kelahiran bayi sebagai aktivitas tambahan yang cukup banyak menyita waktu, pikiran dan perasaan masing-masing pasutri, terutama si calon ibu.

Namun, ketika penantian berlanjut seolah tanpa kepastian, tanda-tanda ‘damai’ juga nyaris tidak terlihat, hasil diagnosa selalu negatif, gemuruh perawan yang campur aduk mulai mengguncang hati suami maupun istri. Apalagi bila kondisi itu berlangsung hingga bertahun-tahun, status ‘calon ibu’ dan ‘calon bapak seolah olah menjadi beban yang sangat berat dipikul. Tak ubahnya seperti calon walikota yang gagal dilantik. Banyak tanda tanya bermunculan di otak siapa yang mandul? Kurang apa saya? Berapa lama lagi saya harus menunggu? Cari istri kedua? Minta cerai ? Ragam pertanyaan, yang dibalut warna-warni perasaan, menggelayut terlalu berat di benak masing-masing suami istri.

PILIH ANTARA DUA : ADOPSI ANAK ATAU POLIGAMI

Bila Anda berada dalam posisi tersebut, manakah di antara keduanya yang Anda pilih? Tentu sulit dijawab dengan satu dua kata singkat Karena persoalannya melibatkan banyak hal, banyak orang, dan beragam pertimbangan.

Mengadopsi anak mungkin dianggap sebagai cara paling praktis dan minim resiko. Tapi, sebenarnya enggak juga. Ada berbagai hal yang berdasarkan pengalaman banyak orang, kerap menjadi persoalan-persoalan besar di masa mendatang, akibat keputusan mengadopsi anak.

Pertama, bila kemudian Allah menakdirkan mereka memiliki anak kandung, Terjadilah perang merebut kasih dari orang tua. Biasanya, yang menjadi pecundang si anak angkat.

Kedua, bila anak yang diadopsi beranjak dewasa, ia tetaplah orang yang tidak memiliki hubungan kemahraman dengan ayah dan ibu angkatnya. Bila ia pria, akan sulit melanjutkan hubungan secara normal dengan ibu angkatnya. Demikian juga bila ia wanita, dengan bapak angkatnya. Ingin berakrab-akraban layaknya anak dan orangtua, mereka bukanlah mahram, tentu ada batas-batas penyekat. Ingin membatasi sikap, merasa bahwa keduanya adalah orangtuanya juga, meski hanya orangtua angkat.

Ketiga, bila terjadi kecendrungan hati antara anak angkat dengan anak kandung, atau anak angkat dengan bapak atau ibu angkatnya.

Keempat, yang juga sering terjadi, perebutan harta warisan. Anak angkat sering menganggap bahwa ia memiliki hak atas harta yang diwariskan kedua orangtuanya. Padahal, dalam hukum faraaidh tidak ada. Sementara bila si anak angkat diberi jatah sebagai wasiat (yang berarti di luar hak faraaid dasar), yang jumlahnya maksimal boleh mencapai 1/3 harta, kerap kali anak-anak kandung tidak bisa menerimanya. Padahal, wasiat itu sah berdasarkan hukum Islam, asal tidak lebih dari 1/3 total harta.

Dan, masih banyak resiko lainnya. Semua persoalan itu memang bisa saja diatasi, tetapi harus tetap diperhitungkan sebagai resikonya.

Pilihan kedua, juga tidak lebih simpel. Proses menuju sebuah poligami, di tengah masyarakat yang masih menganggapnya sebagai hal yang tabu seperti di negeri kita ini, bukanlah hal yang sederhana. Benar, bahwa poligami dibenarkan keberadaannya dalam lslam. Tapi, ada dua hal yang tidak boleh diabaikan:

Pertama, poligami harus dilaksanakan di atas asas keadilan. Setiap muslim yang merasa perlu atau harus berpoligami, juga harus menyita-nyitakan diri secara tulus menjadi suami yang adil. Bila hasrat dalam diri sangat kecil atau bahkan nyaris tidak diperdulikan, poligami sebaiknya diurungkan. Kecuali, bila secara hukum sudah menjadi wajib karena tuntutan maslahat. Saat itu, seseorang harus mampu berlaku adil, bila tidak, ia akan terjebak dalam kemungkaran besar.

Kedua, proses berpoligami harus dilaksanakan secara santun, dengan pertimbangan berbagai maslahat dan sosialisasi dan pengomunikasian yang optimal. Tujuannya, agar tidak terjadi letupan-letupan bising yang akan mengotori atmosfir kehidupan berumah tangga.

Selain itu, bila poligami yang akan Anda pilih untuk berharap memiliki anak, Anda juga harus yakin bahwa pihak yang mandul adalah pasangan Anda, bukan Anda sendiri. Karena bila itu belum jelas, akan menjadi spekulasi yang agak bodoh, bila tujuannya adalah memiliki anak. Berbeda, bila tujuannya lebih pada pemenuhan kebutuhan seks Anda yang berlimpah. Selain itu, Anda juga harus memilih pasangan yang diyakini subur. Karena bila tidak, kejadiannya akan sama dengan pernikahan pertama Anda. Masalah sesungguhnya tidak juga akan teratasi.

Bila seseorang harus memilih, maka ia harus menyisihkan waktu merenungkan, mana di antara dua pilihan itu yang paling sanggup ia lakukan sesuai koridor syariat. Bila terlalu sulit menentukan pilihan, ada the last choice, minta saja salah seorang keponakan untuk Anda didik layaknya anak Anda sendiri. Bila ia keponakan Anda sebagai suami, pilih yang perempuan. Bila ia keponakan istri Anda, pilih yang laki-laki. Tujuannya, agar bisa meminimalisir kerumitan yang terjadi bila anak itu beranjak dewasa. Bila secara kebetulan anak tersebut yatim, akan lebih baik lagi. Karena di samping mengadopsi anak, Anda juga bisa mengharap pahala menyantuni anak yatim. Jadi, pilih yang mana? Up to you all.

1 Diriwayatkan oleh Abu Dawud IV : 222, oleh At-Tirmidzi IV: 445.

2 Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab An-Nikah, bab: Larangan Menikahi wanita yang tidak dapat beranak, hadits No. 2050. Diriwayatkan juga oleh An-Nasa’i dalam kitab An-Nikah, bab: Larangan menikahi wanita mandul, hadits No. 3227, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban No. 228

3 Diriwayatkan oleh Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawaa-id VIII: 87, X : 272, 274. Lihat juga Fathul Qadier IV : 128.

4 Diriwayatkan oleh Muslim No. 2999


http://abuumar.com/keluarga/adopsi-anak-atau-poligami-saja/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pemilik blog dengan segala hormat hanya akan menampilkan komentar berupa saran, kritik, pertanyaan atau caci maki saja, adapun komentar yang masuk ke dalam kategori bantahan/sanggahan/debat maka sebaiknya langsung di blog aslinya [blog ustadz yang bersangkutan] sebab bukan kapasitas ana untuk masuk ke dalam dunia debat. Jadi komentar dari jenis ini baik dalam masalah aqidah maupun fiqh terpaksa tidak ana tampilkan. Harap maklum...