Mutiara Salaf

"Wahai manusia Aku hanyalah orang yang mengikuti sunnah dan bukan pembuat bid'ah. Jika Aku berbuat baik maka ikutilah dan jika Aku berbuat buruk maka ingatkanlah" [Abu Bakar Ash-Shidiq]

Blog ini dibuat terutama sebagai catatan/arsip bagi ana sehingga mudah mengakses [karena telah dikategorikan] artikel para ustadz ahlu sunnah yang materinya terpencar-pencar di masing-masing situs yang diasuh langsung oleh mereka. Namun alangkah baiknya jika ana tidak menyimpannya sendiri di dalam hard disk melainkan di sebuah blog yang diharapkan dapat bermanfaat bagi orang lain entah dia itu muslim atau kafir, ahlu sunnah atau ahli bid'ah, orang yang sudah "ngaji" atau yang masih awam.

Kamis, 06 Mei 2010

Mahram dan Pengasuh Anak

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Bila ada pasangan suami istri, lalu pihak istri meninggal, apakah status si suami masih mahram bagi ibu istri (mantan mertuanya)? Dan bagaimana Islam mengatur hak pengasuhan anak? Jazakumullahu khairan.

Ustadz Abu Umar Basyir menjawab:

Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Hubungan kemahraman dalam Islam adalah hubungan yang didasari tali ikatan rahim, yang menjadikan seseorang memiliki hubungan sebagai mahram bagi orang lain. Sehingga, ia haram menikahi atau dinikahi olehnya. Oleh karena itu pula, ada beberapa hukum khusus—pada kebanyakan orang yang bermahram—, seperti diperbolehkannya bagi kedua orang tersebut untuk saling melihat sebagian aurat dalam batas-batas tertentu.

Hubungan kemahraman tersebut ditentukan oleh tiga hal:

  1. Nasab atau keturunan.
  2. Persusuan.
  3. Pernikahan.

Mahram yang didasari oleh nasab atau persusuan bersifat permanen, dan tidak akan terputus sampai kapan pun juga.

Namun, ada juga yang disebut sebagai mahram sementara.Yaitu, antara seseorang dengan saudari dari istrinya. Keduanya dilarang menikah, bila ia masih menjadi suami dari istrinya tersebut. Namun bila keduanya telah bercerai, atau apabila istrinya itu meninggal dunia, ia boleh saja menikahi saudari dari istrinya tersebut.

Saat masih menjadi mahram pun, keduanya tetap tidak diperbolehkan melihat aurat satu terhadap yang lain. Hubungan keduanya dalam soal aurat, sama dengan wanita dengan pria asing, atau sebaliknya.

Sementara mertua, meskipun menjadi mahram karena pernikahan seseorang dengan anaknya, tetapi hubungan kemahraman itu permanen. Seseorang haram menikah dengan mantan mertuanya, atau mantan menantunya. Wallahu a’lam.

Soal hak pengasuhan, ulama empat madzhab bersepakat, bahwa yang paling berhak mengasuh anak—bila anak belum bisa menentukan pilihan sendiri’adalah pihak ibu. Bahkan orang seperti Umar bin Al-Khaththab Radhiallahu’anhu saja, saat bercerai dengan istrinya, tidak berhak mengambil hak pengasuhan atas anaknya, meski ia adalah seorang sahabat yang mulia, berakhlak luhur, dan memiliki ilmu keislaman yang mendalam.

Ibnu ‘Abbas Radhiallahu’anhu pernah membuat suatu ungkapan yang indah, “Aromanya (sang ibu),kasurnya, dan pangkuannya lebih baik daripada aromamu (sang ayah) sampai ia menginjak remaja dan telah memilih keputusannya sendiri (untuk mengikutiayah atau ibunya).”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rohimahulullah, mempunyai alasan sehingga beliau berpendapat bahwa ibu lebih berhak dalam mengasuh anaknya.Yaitu, karena ibu lebih baik daripada ayah si anak. Jalinan ikatan antara sang ibu dengan si anak sangat kuat dan sang ibu lebih mengetahui kebutuhan makanan bagi anak, cara menggendong, menidurkan dan mengasuh. Dia lebih pengalaman dan lebih sayang. Dalam konteks ini, ia lebih mampu, lebih tahu, dan lebih tahan mental. Sehingga dialah orang yang mesti mengasuh seorang anak yang belum memasuki usia tamyiz berdasarkan syariat.1

Ada seorang wanita pernah mendatangi Rasulullah Shalallahu ‘alaiyhi wassalam untuk mengadukan masalahnya. Kata wanita itu, “Wahai Rasulullah, dahulu akulah yang mengandung anakku ini. Akulah yang menyusui, dan menimang-nimangnya. Namun sayang, ayahnya telah menceraikanku dan ingin merebut anak inidariku.”

Mendengar pengaduan wanita itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaiyhi wassalam pun menjawab,”Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau belum menikah.” 2

Hadits ini menunjukkan bahwa seorang ibu paling berhak mengasuh anaknya ketika ia diceraikan oleh suaminya (ayah si anak) dan ingin merebut hak asuhnya.

Akan tetapi, meskipun pengasuhan anak merupakan hak seorang ibu, terkadang seorang ibu bisa saja kehilangan hak pengasuhan ini. Ada beberapa faktor yang dapat menghalangi haknya. Diantaranya adalah sebagai berikut.

Pertama: Ar-Riqqu. Artinya, orang yang bersangkutan berstatus sebagai budak. Hak pengasuhan merupakan salah satu jenis tanggung jawab yang dalam bahasa syariat disebut walaayah. Sementara seorang budak tidak mempunyai hak walaayah seperti itu.

Kedua: Orang fasik. Yakni orang yang mengerjakan maksiat sehingga keluar dari kategori orang yang taat kepada Allah as. Itu berarti, ia tidak bisa dipercaya mengemban tanggung jawab pengasuhan. Sehingga, hak asuh anak terlepas dari tangannya.

Ketiga: Orang kafir. Orang kafir tidak boleh diserahi hak mengasuh anak yang beragama Islam. Kondisinya lebih buruk dari orang fasik. Bahaya yang muncul darinya lebih besar. Tidak menutup kemungkinan, ia memperdaya si anak dan mengeluarkannya dari Islam melalui penanaman agama kufurnya.

Keempat: Seorang wanita yang telah menikah lagi dengan lelaki lain. Dalam masalah pengasuhan anak, memang seorang ibu lebih berhak dibandingkan seorang ayah. Akan tetapi, hak lebih diutamakan ini, secara otomatis gugur, bila ia menikah lagi dengan pria lain selain mantan suaminya tersebut, yang juga ayah dari anaknya. Nabi 3§j sudah menegaskan dalam hadits di atas,”Engkau lebih berhak mengasuhnya selama engkau, belum menikah….” Kalimat, “selama engkau belum menikah,” berarti pengecualian, yang konsekuensinya bahwa apabila seorang wanita sudah menikah dengan suami barunya, maka hak pengasuhan itu menjadi “berimbang” antara dirinya dengan suaminya. Bahkan sebagian ulama menegaskan bahwa saat itu suaminya yang lebih berhak dibandingkan dirinya.

Kemudian, hak utama ibu tersebut juga bisa tergusur bila si anak sudah bisa memilih. Yakni sudah aqil baligh, sudah bisa menentukan pilihan. Sebagian ulama, hanya menentukan dengan aqil, meskipun belum baligh. Namun yang jelas, itu bersifat relatif, karena biasanya keduanya saling datang bersamaan, namun terkadang juga tidak. Apabila seorang anak sudah mampu memilih, maka ia boleh saja memilih ayahnya, atau tetap memilih ibunya.

Persoalannya, untuk memutuskan hal itu, dibutuhkan peradilan. Bila bumi peradilan itu belum terwujud, bisa diselesaikan secara kekeluargaan, dengan menghadirkan berbagai saksi dari keluarga istri dan keluarga suami yang sudah bercerai tersebut. Lalu diputuskan berdasarkan ketentuan Islam seperti dibahas di atas, dan disaksikan oleh seluruh yang hadir. Bila keduanya taat kepada Al­lah Ta’ala, maka mereka berdua harus mematuhi keputusan tersebut. Bila salah satu menolak keputusan yang benar tersebut, maka sebaiknya pihak yang lain tidak usah memaksa, bila tidak ada peradilan yang memutuskannya. Oleh karena bagaimanapun, Islam tetap memandang perlunya melihat sisi maslahat dari setiap tindakan.

Perlukah menempuh jalur hukum melalui peradilan yang ada, meski tidak islami? Sebaiknya tidak. Bila ada peradilan yang islami, meski bukan di negeri yang memberlakukan syariat Islam secara konstitusional, boleh-boleh saja.

Intinya, bila tak ada peradilan yang bisa dijadikan sandaran secara utuh, sebaiknya dikembalikan kepada musyawarah keluarga, karena Allah m telah memerintahkan kita untuk ber-musyawarah dalam segala urusan. Adapun soal pengasuhan anak terkadang juga sangat perlu dimusyawarahkan bersama.

Tujuannya adalah mencapai kemaslahatan. Selain itu, anak tidak boleh menjadi korban dari perseteruan kedua orangtuanya. Bila mereka bertakwa kepada Allah m, tentu mereka akan memilih keputusan Islam. Bila tidak, serahkanlah kepada Allah, karena Allah sn adalah sebaik-baiknya yang Menciptakan, Mengasuh dan Mendidik manusia, dan dia adalah Rabbul’Aalamiin.

(Footnotes)

  1. Majmuu’ al Fatawa XVII: 216-218. Diriwayatkan oleh Ahmad 2: 182, dan oleh Abu Dawud 2276, serta al Hakim 2: 247. Dinyatakan hasan oleh Al-Albani

http://abuumar.com/ustadz-menjawab/mahram-dan-pengasuh-anak/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pemilik blog dengan segala hormat hanya akan menampilkan komentar berupa saran, kritik, pertanyaan atau caci maki saja, adapun komentar yang masuk ke dalam kategori bantahan/sanggahan/debat maka sebaiknya langsung di blog aslinya [blog ustadz yang bersangkutan] sebab bukan kapasitas ana untuk masuk ke dalam dunia debat. Jadi komentar dari jenis ini baik dalam masalah aqidah maupun fiqh terpaksa tidak ana tampilkan. Harap maklum...