Mutiara Salaf

"Wahai manusia Aku hanyalah orang yang mengikuti sunnah dan bukan pembuat bid'ah. Jika Aku berbuat baik maka ikutilah dan jika Aku berbuat buruk maka ingatkanlah" [Abu Bakar Ash-Shidiq]

Blog ini dibuat terutama sebagai catatan/arsip bagi ana sehingga mudah mengakses [karena telah dikategorikan] artikel para ustadz ahlu sunnah yang materinya terpencar-pencar di masing-masing situs yang diasuh langsung oleh mereka. Namun alangkah baiknya jika ana tidak menyimpannya sendiri di dalam hard disk melainkan di sebuah blog yang diharapkan dapat bermanfaat bagi orang lain entah dia itu muslim atau kafir, ahlu sunnah atau ahli bid'ah, orang yang sudah "ngaji" atau yang masih awam.

Senin, 03 Mei 2010

Penentuan Awal Ramadhan

Masalah penentuan awal puasa ramadhan dan kapan idul Fithri memang
menuai kontroversi sejak dahulu, bahkan mungkin termasuk perkara yang
paling banyak memunculkan perbedaan pendapat di kalangan para Ulama
sejak dahulu maupun sekarang.

Dasar penentuan puasa Ramadhan maupun Idul Fithri bahkan juga Idul
Adha berdasar pada hadits yang maknanya :

"Puasalah kalian karena ru'yatnya dan berbukalah (idul fithri) karena
rukyatnya, jika tertutup (awan) sempurnakanlah hitungan itu" (HSR
Muslim dari Abu Hurairah)

dalam riwayat al-Bukhari "...sempurnakanlah hitungan Sya'ban menjadi
30 hari"
hadits semakna juga dikeluarkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i
dan Ibnu Majah dengan lafadz yang berlainan tetapi maknanya
berdekatan.

Bermula dari hadits inilah pemahaman para Ulama berbeda-beda

1. Apakah yang dimaksud rukyat, apakah melazimkan basyariah haqiqiah
(mata manusia) atau boleh dengan rukyat maknawiyah (dengan
hitung-hitungan astronomi)? sehingga muncullah metode hisab astronomi
(Muhammadiyyah, Persis,..). Imam empat madzhab dan para salaf
(sahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in) tidak ada yang mengenal hisab
sehingga otomatis mereka menggunakan rukyat basyariah. Saya tidak akan
panjang lebar menyebutkan perkataan para Ulama tentang hal ini. Saya
sendiri cenderung dengan rukyat basyariah karena

A. Itu yang diperintahkan Rasulullah 'alaihi shalatu wa salam,
maknanya kalau rukyat basyariah pasti sesuai dzahirnya teks hadits
sedang rukyat hisabiyah (yang merupakan pemaknaan yang tidak sesuai
dzahir teks (takwil)) bagi saya sekedar membantu dan memberikan
masukan pengetahuan yang bersifat optional (tidak pakai hisab pun
puasa tetap sah selama sesuai perintah dalam hadits tersebut), karena
puasa pertama Rasulullah 'alaihi shalatu wa salam tetap sah saat
menyempurnakan Sya'ban 30 karena tertutup awan walaupun pada waktu itu
kalau seandainya dihitung dengan hisab astronomi mungkin sudah masuk
tanggal 2 Ramadhan (secara astronomi) sehingga secara syar'i tidak
perlu mengganti puasa tanggal 1 Ramadhan versi astronomi karena secara
syar'i memang belum masuk 1 Ramadhan.

B.Lebih sederhana dan sesuai prinsip agama Islam yang sederhana serta
mudah. Melihat hilal cukup dengan mata telanjang tidak perlu teleskop
maupun advanced methods seperti hisab dan sejenisnya. Jadi saya
cenderung memahami puasa bulan Ramadhan secara syar'i bukan bulan
Ramadhan secara astronomi, kalau secara syar'i (perintah teks hadits)
hilal tidak terlihat entah karena mendung atau yang lain berarti
Sya'ban 30 hari secara syar'i walaupun secara astronomi sebenarnya
Sya'ban hanya 29. Dalil yang membuat saya cenderung bahwa bulan
Ramadhan yang dimaksud untuk berpuasa adalah bulan syar'i bukan
astronomi adalah :
Perintah Rasulullah 'alaihi shalatu wa salam untuk mengikuti orang-orang
(dimaknai dengan mayoritas atau pemimpin) saat ru'yat kita tidak
diterima oleh mayoritas manusia atau pemimpin kaum muslimin (khalifah,
raja, sultan, presiden, ...dst) yakni :
hadits yang bermakna "Puasa itu adalah hari kalian berpuasa, Idul
Fithri itu itu hari kalian beridul Fithri dan Idul Adha itu adalah
hari kalian menyembelih (hewan kurban)" (HR at-Tirmidzi dari Abu
Hurairah beliau berkata hasan gharib dan disebutkan al-Albani dalam
Silsilah Hadits Shahih) dalam lafadz yang lain dari 'Aisyah "Idul
Fithri itu adalah hari di mana orang-orang berIdul Fithri, Idul Adha
adalah hari di mana orang-orang menyembelih (kurban)" (HR at-Tirmidzi
dan beliau berkata hasan gharib shahih min hadza al-wajhi, Al-Albani
menyebutkan dalam Shahih at-Tirmidzi)
Berdasar teks hadits tersebut, sebagian ulama menyatakan bahwa bagi
seorang yang melihat hilal sendirian tetapi menyelisihi mayoritas kaum
muslimin setempat atau menyelisihi pemimpin karena persaksiannya
melihat hilal ditolak hakim (qadhi) maka bagi dia harus mengikuti
mayoritas atau pemimpin dan tidak boleh mengamalkan rukyatnya
sendirian.
Bagi saya ini adalah dalil bahwa puasa adalah mengikuti arahan
syari'at bukan astronomi, bulan ramadhan yang diperintahkan untuk
berpuasa adalah bulan syar'i bukan bulan astronomi.
Dalam hadits ini juga perintah untuk menjaga persatuan dan jama'ah
bersama mayoritas masyarakat muslim selama masyarakat juga berdasar
dalil-dalil dan ijtihad yang syar'i walaupun bertentangan dengan ra'yu
(pendapat) kita pribadi khususnya masalah puasa, idul fitri dan idul
adha dan juga masalah-masalah yang lain, boleh berbeda pendapat tapi
persatuan dan jama'ah tetap dijaga. Dalam hal ini pula saya mengikuti
pemerintah Malaysia dan mayoritas masyarakat muslim Tronoh untuk
berhari raya. Sedangkan yang di Indonesia mengikuti mayoritas
masyarakat setempat selama mereka menggunakan dasar dari ijtihad yang
syar'i.

2.Apakah rukyat pada suatu negeri melazimkan negeri yang lain menerima
rukyat itu?
Sebagian ulama memahami setiap negeri punya rukyat sendiri, atau
sesuai mathla' dan bujur astronomi.
sebagian memahami rukyat berlaku ke negeri-negeri lainnya tanpa dibatasi
mathla' atau bujur astronomi berdasar teks hadits yang tidak menyebut
bahwa masing-masing negeri punya rukyat sendiri, pendapat terakhir ini
yang saya pilih berdasar teks hadits di atas, yakni apabila ada khabar
hilal telah terlihat maka besoknya waktu berpuasa, tidak peduli yang
melihat di arab, afrika, malaysia, eropa, amerika dll selama orang
yang memberi informasi terpercaya.
Akan tetapi pendapat saya ini akan tetap tunduk dengan mayoritas kaum
muslimin dan pemerintahnya di tempat saya tinggal (tronoh). Misalnya
jika negara lain menyatakan terlihat, tetapi masyarakat cenderung
menggunakan rukyat negerinya sendiri dan tidak terlihat, maka saya
ikut mereka (masyarakat) walaupun bertentangan dengan pendapat pribadi
saya.

Sebagai informasi, metode hisab sendiri berbeda dalam menyatakan awal
bulan


-kriteria wujudul hilal yakni jika
hilal di atas 0 derajat
(0.0000000000000000000000000000000000000000000000000009 derajat
misalnya) maka sudah masuk bulan Ramadhan sepertinya ini hitungan
bulan versi astronomi CMIIW


-kriteria imkan ar-ru'yah inipun berbeda-beda dalam menentukan derajat ketinggian hilal yang mungin dilihat mata telanjang (ada yang 2 derajat, 5, 7 dst, saya tidak hafal), misalnya
jika sudah 2 derajat artinya masuk bulan Ramadhan (bagi yang mensyaratkan min 2 derajat), metode ini berusaha menentukan bulan secara syar'i (mungkin tidaknya terlihat mata telanjang) tapi dengan metode hisab.

Ada satu pertanyaan saya, apakah metode hisab ini bisa dikatakan pasti
atau bisa mengandung error? mungkin kawan-kawan ahli astronomi bisa
menjawabnya.

Maka secara sederhana, saya akan mengikuti masyarakat dan pemimpin di
mana saya tinggal selama mereka menggunakan ijtihad syar'i walaupun
bertentangan dengan pendapat pribadi saya sendiri demi persatuan dan
jama'ah.

Allahu a'lam.


http://noorakhmad.blogspot.com/2008/12/penentuan-awal-ramadhan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pemilik blog dengan segala hormat hanya akan menampilkan komentar berupa saran, kritik, pertanyaan atau caci maki saja, adapun komentar yang masuk ke dalam kategori bantahan/sanggahan/debat maka sebaiknya langsung di blog aslinya [blog ustadz yang bersangkutan] sebab bukan kapasitas ana untuk masuk ke dalam dunia debat. Jadi komentar dari jenis ini baik dalam masalah aqidah maupun fiqh terpaksa tidak ana tampilkan. Harap maklum...